MENUJU ISI SURAT

407 26 8
                                    

"Kok melamun, Bu?"

Perempuan yang duduk melipat kain jarit setengah terkejut akan kedatangan Kinanti, anaknya. Dia mencoba tersenyum, mesti tertangkap pandang dia terlihat melamun tadi.

"Eh. Kamu, Nduk? Belum tidur?" ucapnya, lekas membuang rasa gugup.

"Ibu, kenapa melamun?"

"Tidak."

Kinanti meraih tangan tua di hadapannya, setelah sebelumnya duduk tepat di tepi amben galar.

"Ibu, apa keberatan kalau aku dan Ajeng ke Bangka?"

Perempuan yang memiliki nama Rukiah, menoleh meja. Sepucuk surat di dalam amplop cokelat masih tergeletak di sana. Tulisan yang terangkai, membuat dua hari ini dia merasa gundah.

"Aku bisa saja tak pergi ke sana kalau Ibu, enggan."

Ucapan Kinanti membuat Rukiah, mengembang senyum, seraya menggenggam tangan anaknya.

"Andai bapakmu masih hidup. Tak mungkin ibu merelakan kamu dan adikmu pergi jauh dari sisi ibu, Nduk."

Kinanti menundukkan wajah. Lama dia larut dalam ucapan ibunya.

"Kamu, 'kan masih bisa toh cari pekerjaan di sini?"

"Kerja apa, Bu? Jadi pembantu di kampung hasilnya tak cukup buat membantu kebutuhan keluarga kita."

"Bahkan Ajeng terpaksa tidak sekolah lagi," imbuh Kinanti. Keduanya menoleh pada Ajeng, tidur dengan berselimutkan jarit.

"Apa yang Ibu, khawatirkan? Untuk ongkos? Aku dan Ajeng sudah sepakat untuk memecahkan celengan kami berdua. Aku rasa cukup."

"Bukan itu yang membuat ibu ini khawatir. Kamu belum pernah ke Bangka. Ibu takut kamu kenapa-kenapa di jalan."

Kinanti tersenyum. Terpasang guna meyakinkan hati ibunya. "Di surat itu sudah tertulis jelas alamatnya, Bu."

Rukiah menghela napas. Alasan dengan jawaban sama yang dia dengar, saat dia mengutarakan isi hatinya. Dia tak berucap lagi, hanya melanjutkan melipat pakaian kedua anaknya yang akan dibawa.

"Di Bangka masih banyak lowongan pekerjaan. Bahkan Pakde sudah menjanjikan kalau aku dan Ajeng akan dicarikan kerja di sana."

Rukiah terus melipat pakaian. Sementara Kinanti, menunggu apa yang akan diucapkan oleh ibunya.

Kinanti beranjak menuju meja. Meraih amplop cokelat, lalu mengeluarkan isinya.

"Ya, walaupun Kinanti belum pernah bertemu dengan Pakde sebelumnya, tetapi Pakde sepertinya sudah memikirkan itu," ucap Kinanti, mata tak lepas dari selembar foto yang dia ambil dari dalam amplop.

"Pakde itu kakaknya mendiang bapak, 'kan, Bu?"

Sejenak Rukiah menoleh ke arah Kinanti.

"Kenapa tidak sama dengan foto bapak? Kalau bapak, sedikit terlihat bersih orangnya. Pakde, kulitnya lebih hitam, juga terlihat galak." Kinanti mengulum bibir.

"Masukkan foto itu," pinta Rukiah. Tangannya terus sibuk melipat pakaian, lalu memasukkannya ke dalam tas, Kinanti mengerutkan dahi.

"Bu, nanti kalau kami berdua sudah sukses dapat pekerjaan. Kami berdua akan segera mengirimkan uang."

"Kerja saja belum. Sudah bilang kirim uang."

Kinanti tersenyum melihat ibunya yang berdiri lalu meletakkan tas di atas meja.

"Tidak mungkin toh, Bu? Pakde mengirimkan surat ini berarti memang ada pekerjaan yang cocok buat kami berdua."

"Sudah malam, kamu sebaiknya tidur. Biar besok tidak kesiangan," balas Rukiah.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang