NEK NAH

182 18 2
                                    

"Kalian ikuti saja jalan kecil itu. Di ujung jalan akan terlihat satu pondok, dan itu rumah Nek Nah," kata Mbokde Karsih, menyerahkan rantang kepada Kinanti. Itu tadi, sebelum mereka melewati kamar mandi yang ada di belakang rumah.

Ajeng ikut setelah mendapat izin dari Mbokde Karsih. Mengantar limpah kuning, ada di dalam rantang yang dibawa Kinanti.

Bentang langit tak lagi berwarna biru, meski hujan sudah reda beberapa waktu lalu. Justru terlihat lindap oleh mendung yang kembali menggantung, menghilangkan matahari.

Benar apa yang dikatakan Mbokde Karsih, setelah melewati rimbun pohon rambai, tampak satu jalan kecil yang menyatu dengan jalan setapak. Hanya dengan memutar jalan, mereka sudah meninggalkan pekarangan belakang rumah.

Mereka berhenti sejenak saat jarak dekat yang dikatakan Mbokde Karsih, terasa jauh. "Kamu melihat pondoknya?"

Ajeng menggeleng. "Lihat, Mbak. Bukankah itu yang kemarin kita berhenti. Birunya terlihat sampai sini."

"Kapan ya Bang Hasib akan mengajak kita untuk melihat tambang timah."

"Sudah. Ayo. Hari makin petang." Kinanti melangkah meninggalkan Ajeng.

"Mbak, tunggu!"

Deret kemuning yang meninggalkan putik berwarna ungu tua, menghiasi jalan yang lebarnya hanya langkah.

"Perasaan dari tadi aku tak melihat pondok seperti yang dikatakan Mbokde Karsih," rutuk Ajeng, mengekor di belakang Kinanti.

"Eh, Mbak. Itu ... itu ... lihat. Mungkin itu pondok yang dimaksud Mbokde. Pondoknya Nek Nah."

Kinanti menoleh, tetapi dahinya berkerut. "Sepertinya bukan. Kamu lihat itu toh? Seperti pondok tua yang tak lagi dihuni."

Ajeng menoleh ke belakang, sudah tak terlihat lagi bagian atas atap rumah Pakde Sembodo. 

"Atau mungkin yang itu." Ajeng melangkah dua kali melewati Kinanti. Tampak satu pondok dengan atap yang sama, atap pelepah rumbia dengan dinding jerjak.
"Mungkin itu maksud Mbokde. Itu rumah Nek Nah."

Jelas langit makin lindap, petang mulai di ambang. Kinanti dan Ajeng berdiri di depan rumah. Tak terlihat satu tarikan kabel listrik yang mengarah ke rumah Nek Nah.

"Assalamualaikum."

"Assalamualaikum," ulang Ajeng, ketika salam pertama dari Kinanti tak dijawab oleh pemilik rumah.

"Nek!"

"Apa mungkin Nek Nah keluar?"

"Tetapi itu ada nyala lampu. Bisa jadi dia tak mendengarnya."

"Nek, Nek Nah! Assalamualaikum."

"Apa kita letakkan saja di depan pintu. Kita pulang. Ayo," ajak Ajeng, menatap langit yang kembali mendung.

Keresek!

Suara yang diikuti oleh langkah-langkah perlahan.

"Mbak, kita pulang. Ayo." Ajeng makin merapat ke arah Kinanti. Sementara yang diajak, hanya menatap semak yang mulai keabu-abuan.

Semak sudah tak lagi bergerak-gerak, seakan sesuatu yang ada di dalamnya mengetahui, kalau dua pasang mata mengamati dari depan rumah.

Keresek.

Langkah kaki tanpa alas, keluar menjangkah. Satu sosok lelaki dengan wajah ketakutan pula, memandang ke arah Ajeng dan Kinanti.

"Bukan. Bukan aku yang membunuhnya," ucapnya lirih. Matanya nyaris hilang oleh kerut dalam serta raut takut. Kedua tangannya tampak bergetar, kehadiran Kinanti dan Ajeng benar-benar membuatnya ketakutan.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang