PESAN DI DALAM SURAT

215 21 3
                                    

"Loh? Kok hanya dilihat saja? Dimakan toh?"

Setengah menunduk, Kinanti dan Ajeng hanya saling pandang.

"Ini ada apa toh?" Mbokde Karsih bertanya.

"Semalam kami melihat ada seorang perempuan tua di luar jendela," polos Ajeng.

Pakde Sembodo mendengarnya langsung meletakkan sendok. Suasana di meja makan berubah menjadi pembicaraan serius.

"Terus?" Pakde Sembodo kini bertanya.

"Juga ruangan ...."

"Itu Nek Nah. Mbokde yang memintanya untuk datang semalam. Nek Nah itu tukang urut langganan Mbokde," tegas Mbokde Karsih, meyakinkan kalau itu tak seperti anggapan Kinanti dan Ajeng.

"Nek Nah tinggal tak jauh dari rumah kita." Pakde Sembodo meraih gelas, meneguk habis isinya, seakan untuk menenangkan hal di hati yang dia rasa.

"Kalau masalah ruangan itu. Pakde sengaja menutupnya. Belum sempat Pakde perbaiki," imbuhnya.

"Memangnya kenapa toh, Nduk?"

"Kami pikir ...."

"Jangan berpikir yang aneh-aneh. Mbokde dan Pakde sudah lama tinggal di sini, dan tak pernah melihat atau mengalami hal seperti yang kalian pikirkan. Iya toh, Bu?"

"Sudah. Ayo, dimakan. Setelah sarapan, nanti Mbokde minta tolong kepada kalian untuk beres-beres rumah. Mbokde dan Pakde mau pergi sebentar. Kalian tak keberatan kalau Mbokde minta tolong beres-beres rumah? Rumah ini sepertinya butuh ditata kembali oleh sentuhan tangan kalian."

Kinanti dan Ajeng akhirnya tersenyum. "Iya, Mbokde. Kami tak keberatan."

"Oh, iya. Ada satu ruangan yang tak perlu kalian bersihkan, dan jangan pernah mendekati ruangan dengan pintu yang ditutup dengan palang. Pakde takut kalau pintu itu tiba-tiba roboh."

"Iya, Pakde."

"Ayo, Bu."

"Kalian lanjutkan saja makannya. Mbokde pergi tak lama, ya."

Ajeng mengangguk. Tampak pula senyum Pakde Sembodo, yang berlalu meninggalkan meja.

"Oh iya, Nduk. Jangan pernah buka pintu bagi orang yang tak kalian kenal, ya."

"Ya, Mbokde."

****

Sepeninggal Mbokde Karsih dan Pakde Sembodo, hujan turun dengan deras. 

Di luar, langit makin gelap. Sesekali terdengar guntur bergemuruh.

Duar!

Lap!

Ajeng segera menutup jendela. Deru angin menggerakkan asam keranji, menerobos masuk.

Glek!

Duar!

Sejenak Ajeng tertegun. Dilihatnya Kinanti berada di luar, lari menutupi kepala dengan tangan.

Tok! Tok! Tok!

Mengetahui itu, Ajeng bergegas membuka pintu depan. Angin seketika menerobos masuk dengan butir halus, air yang terbawa angin.

"Dari mana saja, Mbak. Aku pikir Mbak, masih di belakang," ucap Ajeng, segera menutup pintu.

Kinanti tak menjawab.  Malah mengibas tangan di bahu, membuang sisa air yang membasahi.

"Kalau hujan begini, ditambah petir. Aku jadi teringat dengan ibu." Ajeng meraih sapu, sementara yang diajak bicara telah berlalu meninggalkannya.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang