PERSEMBAHAN

191 20 0
                                    

Dua orang tampak tergesa menerobos gelap. Langkah mereka tertahan sejenak, saat mulai menapak lereng berundak.

"Berhenti dulu sebentar," ucapnya, satu lelaki yang memiliki rambut sebahu.

"Kenapa dia lama sekali," kata satu lelaki lainnya.

Meski udara berembus dingin, tetapi wajah-wajah di balik ketu pakaian terlihat sedikit berpeluh.

Bruk!

Seenaknya dia meletakkan sosok yang terlihat tak berdaya ke tanah berpasir di tepi kolong.

Salah satunya mendongak. Memandang gugus bintang. Seakan terlihat sesuatu di antara hamparan kelip bak mutiara.

"Mengapa aku merasa ada sesuatu." Dia berbisik kepada lelaki berambut sebahu.

"Apa? Aku tidak merasakan apa-apa."

"Kenapa aku merinding. Hi."

"Itu hanya perasaanmu saja. Lebih baik kita menunggu mereka di sana."

Tanpa membantah, satu lelaki segera membantu lalu mengangkat tubuh tak berdaya itu kembali ke pundaknya.

Mereka lalu melangkah. Terlihat malam tak mengganggu. Sepertinya sudah biasa bagi mereka untuk melaluinya.

Tanpa mereka sadari dua pasang mata terus memperhatikan gerak-gerik mereka, mengikutinya perlahan dari belakang.

****

Bruk!

Kali kedua tubuh itu dihempas ke tanah berpasir. Seperti sudah disiapkan sebelumnya.

Lembar-lembar simpur tertata rapi, disusun bak alas untuk sesuatu yang akan diletakkan di atasnya.

Tak lama berselang, satu orang datang. Langkahnya yang lambat membuat nyaris keduanya khawatir.

"Lama sekali."

Orang yang baru datang tak menjawab. Dia meletakkan tongkat kayu. Ketiganya masih berdiri seraya memandang ke arah jalan, menunggu satu orang terakhir.

"Aku takut kalau kali ini kita akan gagal," ujar lelaki yang terus menggosok-gosok telapak tangan.

"Gagal? Tidak mungkin," balas satu lelaki yang berdiri di sampingnya.

Dalam gelap, satu bayangan hitam bergerak lalu berhenti di hadapan mereka, "Ini," katanya, menyerahkan wadah tembaga.

"Langsung saja kita mulai. Tunggu apa lagi!"

"Sulut obornya," perintahnya kemudian.

Sementara itu. Tanpa mereka sadari dua orang yang mengikuti mereka sejak tadi, telah ada di balik tanah gundukan rendah, tanah pasir yang sedikit ditumbuhi resam.

"Bagaimana? Bisa mati dia kalau kita tak lekas ambil tindakan," kata salah satunya dengan suara bisik.

"Jangan. Kita tunggu dulu."

"Tidak bisa! Dia bisa mati! Tidak sampai hati aku melihatnya."

"Sst! Tenang! Tahan emosi di dirimu. Kita lihat apa yang mereka lakukan. Kita bergerak di saat yang tepat."

Dengan sedikit menahan bahu, satu lelaki yang lebih muda kembali merunduk. Dalam pendar remang cahaya obor yang disulut, tampak dua lelaki meletakkan satu tubuh. Dia adalah, Kinanti.

"Tidak bisa! Tidak bisa! Aku akan pulang dan mencari bantuan dengan menyampaikan ini kepada warga."

"Kamu tak melihat siapa itu! Kamu tak lihat, ha!"

Perdebatan kecil terus terjadi. Itu tercipta setelah nyata siapa yang mereka lihat. Cahaya obor menegaskan siapa saja orang yang berada di bawah pohon kering menjulang, nyatoh pucung.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang