BONEKA

349 22 2
                                    

Rumah dengan pencahayaan kurang. Terasa terbagi dua. Rumah dengan satu dinding lurus, memisah satu ruangan lain dengan kamar pada bagian ujung. Lukisan minyak yang tergantung, seolah menjadi tanda sang pemilik kamar.

Krek!

Pintu terbuka. Langkah yang memasukinya terlihat ringan. Ruangan seketika terang saat satu tangan membuka pengait jendela. Perempuan dengan kebaya kerawangan, hanya berdiri di depan jendela. Sanggul ukel tekuk menjadi ciri khas, sering dia kenakan.

"Bu, aku mau ke Sungai Liat," ujar Pakde Sembodo, berdiri di ambang pintu.

Merasa tak dijawab, Pakde Sembodo melangkah menghampiri istrinya.

"Aku mau ke Sungai Liat," ulangnya.

Dia itu hanya menoleh sebentar, lalu melempar pandang ke arah kolong. Sebuah kolong yang tak jauh dari rumahnya, dari jendela tampak jelas, tanpa satu penghalang yang menutupi pandang.

Pakde Sembodo melangkah, meninggalkannya seorang diri.

****

"Angkut gale-gale ke atas uto." (Angkut semuanya ke atas mobil).

Lelaki dengan perut buncit tampak memerintah enam orang, dengan empat unit mesin tambang, tanpa sakan.

"Mau buka di mana?"

"Rencanae nak bukak di Gunung Muda, men ningok kawan yang lah jalan. Renyek ase ke sanen." (Rencananya mau buka di Gunung Muda, kalau melihat kawan yang sudah lebih dulu membuka tambang. Ingin rasanya ke sana). Lelaki itu menyerahkan sejumlah uang, sebagai kata sepakat atas harga yang diajukan oleh Pakde Sembodo.

"Mesin ini selalu membawa keberuntungan. Semoga menghasilkan di tanganmu," ujar Pakde Sembodo.

"Ndak de niat nak bukak agik og, Pakde?" (Tidak ada niat untuk buka tambang timah lagi, Pakde?).

"Belum tahu, untuk sementara aku ingin berhenti dulu."

"Aoklah, kami paham. Aok pun, kulangsung bae og. Biak budak-budak ni ngangkute." (Baiklah, kami paham. Ya, sudah, saya langsung saja. Biar anak-anak ini mengangkutnya).

"Ya, sama-sama." Pakde Sembodo hanya berdiri melepas orang yang datang membeli semua peralatan tambang timah miliknya.

Dengan menggunakan pipa, satu persatu mesin diangkut ke atas mobil. Sebenarnya Pakde Sembodo tak sampai hati menjual semua peralatan yang selama ini telah banyak membantu keuangannya, tetapi, satu kejadian yang memutuskan untuk bulat menjualnya.

"Sayang kira 'a, og? Mane denger-denger. Pakde tu, galak ngasil." (Sayang sebenarnya, ya? Yang aku dengar. Pakde sering sekali dapat timah banyak).

"Ndak tau ngapelah. Die tengah trauma bak aseku," (Mau bagaimana lagi. Dia masih trauma aku pikir), timpal satu pemuda yang duduk di atas mobil. Keduanya lalu bersiap menyambut pipa, mesin digantung dengan menggunakan Van bel.

"Ari! Ari, ka tahan bener-bener, og!" (Ari! Ari, kamu tahan dengan benar, ya!), serunya, salah satu orang yang tadi memikul di belakang, siap bergegas naik untuk membantu dua kawannya.

"Astagfirullah!" Terdengar pekik.

Bruk!

Tubuhnya terjatuh, terjerembap tepat di atas mesin berbobot 185 kilogram. Sontak dua kawannya yang ada di atas bak mobil mencoba untuk menahan agar mesin tak melorot kembali turun.

"Tarok! Tarok!" (Letakkan! Letakkan!), pinta satu lelaki.

Mesin berhasil mendarat di bak mobil. Lega mereka bernapas.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang