TUMBAL

191 17 0
                                    

Di dalam perjalanan pulang, Kinanti tak habis pikir dalam mencerna apa yang dikatakan oleh Atok Kahar. "Tanda apa yang dimaksud?" risak hatinya.

Alang-alang yang tumbuh rapat di sisi kanan jalan puru, serta beberapa pohon akasia, baru saja mereka lewati. Ranting yang seakan tak pernah lapuk meski sudah terlihat kering menjulang, artinya, mereka akan kembali melintasi kolong berair biru, sisa tambang dengan cerita mengenaskan. 

Tak akan pernah dilupakan oleh warga, bahwa ada dua nyawa yang terkubur hidup-hidup di dasarnya, juga satu rahasia yang mungkin saja tak terungkap, larut dan mengendap bersama lumpur.

"Cepat, Mbak." Ajeng memperingatkan Kinanti untuk segera berjalan lebih cepat, berharap tak mau lagi mengingat apa yang ada di dasar kolong.

Tetapi Kinanti, makin memperlambat langkah. Matanya tak lepas pada batang kering yang menjulang. Bukit Kembar jelas terlihat dalam payung langit biru.

"Mbak!"

Ajeng terpaksa melangkah kembali, saat Kinanti malah berhenti di tepi kolong.

"Cepat, Mbak! Bagaimana kalau ada orang lain yang lewat, ha!" Tetapi pegangan tangan Ajeng dilepas oleh Kinanti.

"Tunggu!"

"Ikut Mbak. Ke sana," ajak Kinanti menunjuk nyatoh pucung.

"Mbak, apa yang akan Mbak, lakukan lagi, ha!"

"Ayo." Kinanti langsung meninggalkan Ajeng, menuruni lereng berundak. Ajeng terpaksa mengikutinya, meski ada rasa yang membuat darahnya berdesir dengan cepat.

Angin merendah, menyapu permukaan, membentuk gelombang kecil. Keduanya berhenti di tempat yang masih menyisakan tanda diseret di tanah lumpur berpasir. Beberapa bercak darah sudah menghitam, mengering bersama rahasia pembunuhan.

"Untuk apa kita ke sini, Mbak?"

"Untuk memastikan kebenaran yang dikatakan oleh Atok Kahar."

"Kebenaran apalagi. Bahkan Atok Kahar tak membeberkan apa yang dia tahu," rutuk Ajeng dengan wajah yang sudah berpeluh.

Nyaris yang mereka pijak adalah hamparan pasir, sisa limbah tambang yang mematikan apa tumbuhan apa saja dengan mengubur akarnya, termasuk nyatoh pucung yang dulu berdaun lebat, yang terlihat kini rerumputan pasir, tumbuh kerdil.

Keduanya mendongak ke atas. Di permukaan tanah, sisa banir yang ikut terkubur lumpur, bukti keserakahan manusia. Mengeruk hasil bumi tanpa memperhatikan lingkungan, menjadikan semua hamparan pasir putih nan tandus.

Kinanti maju selangkah, memperhatikan kulit batang cokelat keabu-abuan. Saksama dia mencari sesuatu. Sesuatu yang dalam penglihatannya dilakukan oleh seorang perempuan tua. "Aku yakin. Pohon ini, dan perempuan tua itu mengibaskan daun yang dipenuhi darah," batinnya.

Ajeng hanya menyaksikan dengan dahi berkerut. "Apa yang aneh dengan pohon mati ini, Mbak."

"Mbak yakin. Di bawah pohon ini mereka membunuh bocah perempuan itu."

"Bocah kecil," imbuh Kinanti.

"Tunggu. Apa Mbak, ingin bilang kalau itu adalah Kuni, anak Pakde Sembodo?"

Kinanti mengangguk.

"Mbak, mana mungkin! Bahkan kenduri empat puluh hari baru saja kemarin malam, dan semua orang tahu kalau Kuni dan Salma, tewas dalam kejadian longsor tambang yang ada di belakang kita!" Ajeng sudah tak mau lagi satu suara kali ini, jelas dia membantahnya, membantah anggapan Kinanti.

"Pakde Sembodo dan Mbokde Karsih. Mereka telah membunuh keduanya," imbuh Kinanti.

"Mbak, masalah kita adalah dengan kembalinya Pakde Sembodo, bukan buang-buang waktu mengurusi hal yang sudah lalu. Apa yang akan kita perbuat bila Pakde Sembodo datang dengan beberapa polisi. Apa, ha?"

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang