PERSEMBAHAN DI BAWAH LANGIT MALAM

203 20 6
                                    

Ternyata mereka sudah ditunggu oleh dua orang. Satu perempuan dan tampak pula dari perawakannya

"Bu, aku takut," ucap anak perempuan dengan baju terusan berwarna putih.

"Apa yang kamu takutkan. Ada ibu." Perempuan itu terlihat sejenak meyakinkan anak kecil tersebut.

Wewangian dari garu begitu santer tercium. Tampak pula satu tempat, seperti nampan kecil yang sudah sesak oleh berbagai jenis bunga, dan seorang perempuan tua sudah berdiri, terlihat juga satu lelaki yang ada di belakangnya.

"Ikak pikir-pikir luk. Jangan sampai ikak nyesel klake," (Kalian pikir-pikir dulu. Jangan sampai kalian menyesal nanti), ujar perempuan tua, lalu mengambil tempat bergeser kepada lelaki yang terus menggandeng bocah perempuan.

Lelaki itu tak menjawab, hanya mengangguk.

Mata itu terlihat tajam, melempar lirik kepada perempuan satunya. Hal serupa juga dia lakukan, mengangguk.

"Sini, deket," (Sini, mendekat), panggil perempuan tua kepada bocah itu. Seketika dijawab dengan kepala menggeleng.

"Ndak ape ndak. Ngape takut kek." (Tidak apa-apa. Kenapa takut).

Tetapi bocah itu terus menggeleng, lalu beralih menyembunyikan wajah di kaki perempuan satunya.

"Nduk, setelah ini kita segera pulang? Kamu menurut, ya."

"Aku takut, Bu. Aku mau pulang."

"Iya? Makanya kamu ikuti saja apa katanya, ya?"

"Tidak apa-apa. Cuma sebentar," imbuh lelaki yang tadi datang, meletakkan lampu.

Sejenak dia berlutut, mengelus rambut bocah yang menatapnya tak mengerti.

"Kamu sayang sama bapak dan ibu, toh?

Bocah itu mengangguk.

"Kamu tinggal turuti saja apa katanya itu. Lalu semua selesai, dan  kita langsung pulang, ya." Tampak lelaki itu mencoba untuk terus meyakinkan bocah perempuan.

"Di sini, 'kan ada bapak."

Bocah itu mengiyakan saja. Dia hanya ingin segera pulang.

"Matiken lampua," (Matikan lampunya), pinta perempuan tua.

Keduanya segera menurunkan pengait sumbu, diakhiri dengan meniup, lalu semuanya gelap.

Bus!

Bus!

****

"Tidak! Tidak! Tidak mau."

Tetapi empat orang itu tak menghiraukan teriakan bocah perempuan yang sudah terbaring di atas gelar beberapa daun simpur.

"Tidak! Akh!" Teriak bocah perempuan, ketakutan. Darah dari ayam hitam, terus menetes dan melumuri wajahnya.

"Bu, aku tidak mau, Bu. Pulang, Bu."

Tak ada yang bisa dia perbuat dalam keadaan tangan dan kaki terikat. Dia hanya bisa meronta dan mengharap iba, memohon untuk segera pulang.

Sementara tiga orang yang duduk bersila, hanya terus menyaksikan perempuan tua yang terus menumpahkan darah ke badan bocah perempuan. Baju putih yang dia kenakan, kini mulai terlihat merah.

Kinanti, yang sedari tadi menyaksikan, seketika menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.

"Apa yang akan mereka lakukan dengan anak itu," batinnya, sementara matanya tak lepas dari berbagai macam sesaji.

"Ni. Ambik." (Ini. Ambil). Dalam samar gelap, sosok itu tampak menyerahkan satu senjata hunus. Dengan bergetar, perempuan itu menerimanya, lantas memandang lelaki yang duduk di sampingnya.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang