PASAR MAMBO SUNGAI LIAT

204 20 0
                                    

" ... Dan itulah rumah Mbokde. Dulu Pakde dan Mbokde tinggal di pondok itu." Mbokde Karsih menyodorkan sendok kepada Kinanti.

"Dengan tambang timah, hidup kami kemudian sedikit lebih baik. Bisa dibilang cukup," lanjutnya.

"Kalau seperti yang diceritakan oleh Ajeng. Di Bangka banyak sekali tumbik," kata Pakde Sembodo, seraya mengelap kumisnya.

"Salah satu tempat wingit di Bangka. Hulu, umumnya akan dihuni hantu rawa, atau arwah para Singkek."

"Dulu, penambangan timah pernah berjaya di Bangka. Orang-orang Belanda memperkerjakan para Singkek. Diperlakukan menjadi budak untuk menggali dan mengangkut timah di sini."

"Tidak sedikit yang mati. Itu karena mereka tidak diperlakukan secara manusiawi, hanya diperas tenaganya saja."

"Tidak heran bila arung dan kepala rawa, menjadi salah satu tempat paling angker di Bangka. Ada banyak pantangan yang kalian harus patuhi di sini. Tidak boleh berteriak, atau berbicara kotor di sekitar hulu," beber Pakde Sembodo.

"Kamu ini loh, Nduk. Apa-apa selalu dikaitkan dengan hantu. Selagi kita bersikap sopan di tanah Bangka, mereka yang tak kasat tak mungkin mengganggu kita. Wajar bila kalian melihat sosok seperti itu. Surup, waktu di mana semua barang halus keluar. Menampakkan diri seperti apa yang mereka kehendaki. Bahkan bisa saja menyerupai orang yang kita kenal," tambah Mbokde Karsih.

"Setelah ini, Pakde dan Mbokde akan keluar sebentar. Tidak apa-apa toh kalau kalian berdua di rumah?"

Ajeng menoleh Kinanti, ingin rasanya dia berkata, "Tidak! Rumah ini begitu banyak menyimpan ketakutan di setiap sudutnya." Ucapan itu dia telan kembali saat Kinanti mengangguk.

"Mbokde akan menemani Pakde kalian. Ke rumah Nek Nah."

"Iya. Badan Pakde sudah terasa pegal," sambar Pakde Sembodo.

Ajeng tersenyum lebar begitu melihat Pakde Sembodo menggeliat seraya memegang pinggang.

"Meskipun sudah sepuh, pijatan Nek Nah masih paling cocok di badan Pakde." Pakde Sembodo tersenyum begitu melihat Ajeng tersenyum geli.

"Nek Nah orangnya baik. Sudah menganggap Pakde dan Mbokde seperti anak sendiri," sambung Mbokde Karsih.

"Lalu apa yang menyebabkan anaknya gila? Tadi kata Nek Nah dia bisa begitu setelah kejadian longsor di tambang timah?" tanya Kinanti.

Mbokde Karsih berkernyit. Menyentuh tangan Kinanti yang ada di hadapannya. "Nek Nah cerita apa saja ke kamu?"

"Tidak banyak. Dia hanya bercerita tentang anaknya yang berubah tidak waras setelah kejadian itu."

Mbokde Karsih membuang wajah ke arah Pakde Sembodo. Seakan memerintah untuk memberikan cerita yang sebenarnya.

"Hem. Anak Nek Nah dulu juga bekerja dengan Pakde. Sebenarnya Pakde tak mau lagi mengingat-ingat kejadian itu."

"Longsor itu begitu melukai perasaan kami. Bongkahan besar yang menahan lumpur, tumbang. Lumpur menggulung, beserta bongkahan dinding tanah yang bercampur kak. Kepala anak Nek Nah terbentur bongkahan itu. Kami sangat berdosa sebenarnya, tetapi siapa yang mau menerima musibah seperti itu."

"Bongkahan yang membentur kepala menyebabkan anak Nek Nah sedikit kurang waras," jelas Pakde Sembodo.

"Pantas? Dia selalu berteriak tentang bunuh. Siapa yang dibunuh, atau bukan aku yang membunuhnya. Begitu, Pakde." Kinanti membalas pegangan Mbokde Karsih.

"Begini loh, Nduk. Kalian orang baru di sini. Jangan dengar apa saja yang belum kalian tahu kebenarannya. Namanya saja orang gila, dia bisa bicara apa saja. Kalian paham?"

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang