SENYUM PERPISAHAN

188 18 0
                                    

Api sudah berkobar, menghanguskan apa saja.

Bruk!

Bahkan sebagian rumah ambruk.

Lima orang sudah berkumpul. Tak ada yang bisa mereka lakukan, hanya memandang rumah besar yang terus dibungkus api, menghadirkan panas bara.

"Ngape pacak tebakar, ha!" (Kenapa bisa terjadi kebakaran, ha!).

"Entah ge. Mudah-mudahan semuen orang lah keluer. Tidak kebayang men ...." (Entah juga. Semoga semua orang sudah keluar. Tidak terbayang bila ....).

Bruk!

Bagian teras rumah roboh.

"Awas! Mundur! Mundur! Ikak jangan deket igak!" (Awas! Mundur! Mundur! Kalian jangan terlalu dekat!). Terdengar teriak satu lelaki yang hanya berjongkok menyaksikannya.

Seketika asap membumbung, menerbangkan debu beserta percik api.

"Ayo. Kite madah kek Pak RT!" (Ayo. Kita laporkan ini kepada Pak RT!).

"Ka tunggu di sini, Man!" (Kamu tunggu di sini, Man!).

"Ndak kawah! Pacak urang nuduhku klak, klak nyangka urang kuyang mbakara!" (Tidak mau! Bisa saja nanti orang menuduh aku, nanti menuduh aku yang membakarnya!).

"Yuk lah pon. Kite serempak bae gi a." (Baiklah kalau begitu. Kita sama-sama saja perginya).

"Ayo!" Kelima orang itu segera berlarian untuk mengabarkan kalau telah terjadi kebakaran, menyisakan pohon dua asam keranji yang telah menghitam.

****

Mereka terus berlari setelah melewati lubang yang selalu menganga di pinggir jalan. Satu sinar obor muncul, seiring Atok Kahar, terlihat mengulurkan tangan. Kinanti hadir berikutnya, lalu keduanya sama-sama membantu Hasib, untuk segera menapak tanah puru.

Ketiganya berdiri menatap sinar terang yang semakin jelas. "Ajeng!" pekik Kinanti.

"Ajeng masih di dalam rumah itu."

"Ayo!"

Kinanti bergegas dengan terus memapah Hasib. Sementara Atok kahar, sudah berjalan lebih dulu, berharap kedatangannya tak terlambat untuk menyelamatkan Ajeng.

"Ajeng, hu hu hu." Kinanti terus menangis selama di perjalanan.

"Berdoalah. Semoga tak terjadi apa-apa dengannya." Hasib mencoba melepaskan tangan Kinanti.

"Cepat susul Atok Kahar! Selamatkan Ajeng," pinta Hasib, lalu lebih memilih merunduk seraya memegang kedua lutut.

Kinanti hanya berdiri bingung.

"Cepat susul Atok Kahar."

Di akhir ucap, Kinanti langsung berlari menuju sinar terang yang bercampur asap membumbung.

****

Kinanti terus memegang dada, mengatur napas, begitu sampai di depan kobar api.

"Ajeng!"

"Ajeng!"

"Ajeng, hu hu hu." Kinanti jatuh terduduk, mendapati api sudah sepenuhnya menguasai setiap sudut rumah.

"Hu hu hu." Kinanti terus menangis. Atok kahar berdiri dengan tertunduk.

Untuk sekian kali, Atok kahar kembali mencoba menenangkan Kinanti, "Tak ada yang tersisa," ucapnya.

"Ajeng," ratap Kinanti. Air matanya tumpah ruah, kesedihannya berlipat ganda. Setelah terakhir meninggalkan Ajeng, juga damar kembang yang terus menyala.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang