LONGSOR TAMBANG INKONVENSIONAL

177 20 3
                                    

Deng!

Deng!

Deng!

Deng!

Kinanti menutup kedua telinga. Bunyi raung mesin yang menjerit benar-benar begitu pekak. Lubang menganga dengan dinding tanah tegak, terlihat seperti sebuah ancaman tersembunyi.

"Itu yang mereka pegang namanya monitor. Tekanan air yang disalurkan dari pompa isap air, akan menghancurkan bongkah tanah. Bisa saja ada kadar timah di dalamnya." Hasib berdiri di tengah, menoleh ke arah Kinanti, bicaranya yang keras nyaris tak terdengar.

Ketiganya berdiri di sisi tebing. Tampak dengan jelas empat pekerja yang bertelanjang dada. Lumpur sudah membalut kulit mereka. 

Mata Kinanti tertuju dengan selang sebesar pergelangan tangan yang diapit dengan paha.

Air yang menyembur dari ujung monitor, bak senjata tajam, melubangi dinding tanah. Tampak satu pekerja lain mengaduk bongkahan tanah hingga menjadi pasir, bahkan hanya bermodal semprot air.

"Bang, apakah bisa lebih dekat untuk melihatnya? Aku kok tidak melihat yang namanya timah. Apakah mereka sudah mendapatkannya?" Ajeng mengerutkan dahi, seakan ingin menangkap butir timah seperti yang ada di benaknya.

"Kita tak mungkin melihat bijih timah dari tempat ini. Semua jelas dan bisa kalian pegang bentuknya, sewaktu mereka sudah mencucinya. Itu, bak papan yang disangga puluhan kayu. Di sana nanti mereka akan memisahkan antara pasir dan timah," jabar Hasib, setengah berteriak. Dan tanpa mereka sadari, reruntuhan tanah mulai terlihat di bawah, tepat yang dipijak Kinanti.

Dalam Kinanti berkernyit, saat satu pekerja menoleh ke arahnya. Jantungnya seperti digedor kuat. Jelas pekerja itu memiliki wajah yang sangat mirip dengan Hasib. Napas Kinanti makin memburu, saat pekerja itu tersenyum kepadanya.

"Kamu mau ke situ?"

Ajeng mendekatkan telinga. "Apa!"

Hasib menunjuk ke bawah. Serta-merta Ajeng mengangguk.

Kembali mereka menyusuri lereng. Undak buatan yang sepertinya digunakan oleh pekerja tambang untuk ke lubang.

Kinanti tersadar, dan tak lagi ada Ajeng dan Hasib. Terlihat mereka sudah saling membantu untuk menuju bawah.

"Apa aku tak salah lihat?" batinnya.

"Mbak!" Ajeng berteriak dengan senyum mengembang, melambai ke arah Kinanti.

Hanya menggerakkan kepala menggeleng, Kinanti menolak untuk lebih dekat ke dasar lubang.

Kinanti memilih memeluk lutut, beralas sandal. Dia duduk menunggu Ajeng dan Hasib kembali. Sesekali pandangannya terarah ke arah bak papan. Pipa empat inci meliuk menuju sebuah kotak papan berukuran kecil. Selayang lirik dia lempar ke sisi kiri bawah, masih terlihat Ajeng dan Hasib. Keduanya terlihat saling bicara dengan suara keras, bahkan Hasib, sesekali menunjuk lubang yang terus digali menggunakan semprot monitor.

Bruk!

Bongkah besar jatuh. Kinanti masih saja tak menyadari ancaman yang ada di bawahnya. Satu pekerja yang bertugas mengatur keseimbangan air di lubang camoi, menangkap reruntuhan dinding. Terlihat pula dia mengisyaratkan untuk Kinanti. Dengan menggerakkan tangan seperti menghalau, dia meminta Kinanti, untuk tidak duduk di atas tebing.

"Woe, awas!" teriaknya kepada Kinanti.

Sayang, suara itu tertelan oleh suara pekak dari ujung knalpot mesin.

"Mbak!" Giliran Ajeng berteriak. Tampak Hasib juga meminta Kinanti untuk segera menjauh dari bibir tebing.

"Apa!" balas Kinanti. Seketika dia berdiri.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang