PETAKA 40 HARI

185 18 1
                                    

"Lailaha ilallah."

"Lailaha ilallah."

"Lailaha ilallah."

Lafaz tahlil terdengar ke setiap sudut ruangan rumah. Rangkaian bacaan setelah tadi para lelaki yang sengaja didatangkan oleh Pakde Sembodo selesai membaca Surat Yasin.

Sebagai orang yang masih menjunjung tinggi budaya Jawa, tampak beberapa bungkus nasi yang sudah lengkap dengan lauk serta sayuran, dalam sebuah wadah kotak kertas. Meski Pakde Sembodo tahu, kalau untuk di Bangka, tidak ada istilah berkat, atau nasi yang sudah disiapkan dan dibagikan sebelum orang-orang beranjak untuk pamit pulang.

Meninggalkan Pakde Sembodo yang mengenakan peci di antara para lelaki yang ditaksir berjumlah empat puluh lebih. Sementara di dapur, empat perempuan yang terlihat membantu Mbokde Karsih sejak pagi, disibukkan oleh beberapa kudapan yang disusun di atas piring.

"Mbokde, boleh Ajeng membantu mereka?"

"Ya boleh toh, Nduk," jawab Mbokde Karsih, terlihat dia memindahkan beberapa gelas kotor ke dalam wadah.

"Nduk, Kinanti. Temani Mbokde Karsih ke sumur belakang, ya? Terlalu kotor dan begitu sempit, kalau Mbokde harus mencuci semua di sini."

"Baik, Mbokde." Kinanti meletakkan sendok yang sedari tadi dia lap menggunakan kain.

"Atau ... kamu selesaikan dulu. Setelah itu kamu susul Mbokde, ya?"

Kinanti mengangguk. Mencoba memberikan senyum, tetapi itu hanya sepintas. Selebihnya dia memandang Mbokde Karsih dari belakang, melangkah meninggalkannya.

****

"Dik, tolong kamu siapkan sebagian gelas ini, setelahnya kamu masukan gula dan kopinya. Aku akan membantu Mbokde, untuk menyiapkan gelas yang lain."

"Baik, Mbak." Ajeng beranjak, lalu menggantikan pekerjaan Kinanti.

Sudah direncanakan sebelumnya oleh Mbokde Karsih. Pakde Sembodo yang memasang penerangan dengan menggantung satu bola lampu pijar. Terlihat terang antara pintu dan sumur yang berjarak hampir sepuluh langkah.

Andai tak tertolong oleh sinar, pastilah Kinanti tak mungkin berani untuk menuju sumur, ditambah rimbun rambai yang berdiri menakutkan.

Tetapi baru Lima langkah, Kinanti berhenti. Mbokde Karsih terlihat hanya duduk mematung pada bangku kecil menyerupai talenan.

"Mbokde?" panggil Kinanti. Ragu dia kini mendekat. Semua hal yang dia pernah coba ceritakan kepada Ajeng, ditambah sosok Ranti, benar-benar dia harus meyakinkan kalau itu benar-benar Mbokde Karsih.

"Mbokde, apa semua sudah selesai?" ulang Kinanti.

Tidak ada pergerakan. Bahkan yakin bagi Kinanti dia menanyakan itu dengan suara keras.

Dibawa langkah makin mendekat. "Mbokde?"

"Mbokde, jangan menakut-nakuti Kinanti. Mbokde?"

Suasana terasa lengang. Sejenak Kinanti menoleh ke belakang, memastikan kalau dia masih berada di belakang rumah. Lampu yang menyala di atas pintu, menambah keyakinan baginya untuk makin mendekat.

"Sudah semua, Mbokde?"

Di akhir tanya, tampak Mbokde Karsih berdiri membelakangi Kinanti. Tak terlihat dia mengangkat satu tempat yang tadi dilihatnya.

Mencari jelas Kinanti, saat dia menangkap kilatan satu pisau di tangan Mbokde Karsih.

"Mbokde?"

"Kau harus membunuhnya." Terdengar seperti menggumam.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang