KE DASAR LUBANG BEKAS TAMBANG

227 19 3
                                    

Kinanti berdiri di tepi jalan. Atok kahar masih terlihat setia menemani.

"Atok, Kinanti ucapkan ribuan terima kasih, karena selama ini telah menyelamatkan Kin ...."

Atok Kahar menggeleng. "Bukan. Bukan aku yang menyelamatkan kamu. Kita berdua sudah sepatutnya berterima kasih dengan Hasib.

"Ah," desah Atok Kahar.

"Kinanti, maafkan aku. Seharusnya aku dari dulu mengatakan ini kepadamu, tetapi, aku sungguh tak kuasa menceritakannya kepadamu kala itu."

"Aku telah berbohong. Ingin rasanya aku segera menyuruh kalian pergi saja dari rumah itu. Maafkan Atok, Kinanti."

"Tumbal tumbik, adalah salah satu ritual langka di tanah Bangka."

"Kepercayaan masyarakat di sini. Kepala rawa adalah tempat di mana roh-roh yang belum sempurna, terjebak di antara dua alam. Tempatnya yang lembap dengan mata air, selalu dihindari oleh masyarakat, terutama saat matahari mulai tenggelam."

"Dulu sekali. Tempat itu adalah pemandian. Airnya begitu jernih dan dingin. Keluar seakan-akan berasal dari akar nyatoh pucung."

"Hingga datang masa, di mana semua rata dalam timbun pasir. Semua sudah tak lagi menghiraukan alam."

"Pasir timah akan selalu berlapis pada tempat yang berair. Pakde Sembodo, orang yang pertama menancapkan kayu untuk pipa."

"Lalu tak lama bising mesin terdengar. Melubangi apa saja. Menggali tanah makin dalam, demi butir kecil, benda yang disebut timah. Mereka mengabaikan sesuatu yang besar. Alam adalah warisan bagi anak cucu kita kelak, mereka sudah merusaknya."

"Tempat pemandian itu telah berubah. Jernih air tak lagi ada. Menyisakan limbah tambang yang mengalir membawa lumpur, mengendapkan pasir."

"Manusia sudah tak lagi bersahabat dengan alam. Merusak hijaunya hamparan tanah Bangka. Mengubahnya menjadi hamparan pasir yang tandus."

"Ah." Atok Kahar membuang napas panjang.

"Bahaya sesungguhnya akan selalu datang dari orang-orang terdekat kita, Kinanti. Apa yang sudah terjadi, semoga bisa menjadi pelajaran bagimu."

Kinanti masih dalam tertunduk, yang terjadi belum sepenuhnya dia tinggalkan, ditambah dengan Ajeng, dia tak tahu harus berkata apa, saat kembali bertemu dengan ibunya.

"Masalah adikmu ...."

Kinanti mendongak. Ada yang basah di pipinya.

"Aku yakin, dia anak baik. Perlu kamu tahu."

"Andai saja orang yang telah mati diberi kesempatan untuk kembali bangkit, tentu dia akan memilih beramal, beribadah. Bukan untuk balas dendam."

"Tidak ada roh gentayangan. Yang ada adalah roh orang Mukmin yang tidak bisa terangkat ke atas, hanya masalah hutang yang belum terbayar."

"Tidak ada hantu. Tidak ada roh manusia yang mati mengganggu manusia. Apa yang selama ini diyakini oleh sebagian besar manusia, hanyalah tipu daya setan. Mereka menyamar sebagai orang yang telah mati. Seperti dilihat oleh orang-orang yang tertipu."

"Tetapi Ajeng telah menjadi tumbal pesugihan Pakde Sembodo." Kinanti mengusap pipi.

"Kinanti, orang yang dijadikan tumbal pesugihan menjadi pisungsung atas perjanjiannya dengan setan dari golongan jin. Arwah tumbal pesugihan ini umumnya akan menjadi abdi dan menjadi budaknya, hingga batas waktu tertentu sesuai perjanjian pesugihan."

"Batas waktu?"

"Ya. Tiga tahun. Umum batas waktu perjanjian, dan bila mendekati masa pengabdian selesai, biasanya pelaku pesugihan akan menambah waktunya."

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang