TERKUBUR DI DASAR BERSAMA DOSA

192 20 17
                                    

"Terima kasih. Terima kasih." Pakde Sembodo berdiri di depan pintu dengan terus menyambut jabat.

"Kami langsung pulang, og? Kabul kajat, semoga pacak jalan libak bagi almarhumah," (Kami langsung pulang, ya? Terkabul semua hajat. Semoga menjadi jalan lebar bagi almarhumah), katanya, lelaki mengenakan peci, lalu bergegas pergi mengikuti rombongan yang sebagian telah menyalakan motor.

Hasib yang datang dengan bapaknya, tampak pula hadir. Memacu motor perlahan melewati semak, di mana terlihat dua sosok merunduk rendah, seakan tak ingin kehadirannya diketahui oleh semua tamu yang pulang.

"Kami ge nak sekalian pamit, Pakde," (Kami juga mau sekalian pamit, Pakde), ucap satu perempuan yang mewakili tiga lainnya. Mesin empat motor yang terus menyala, telah siap membawa keempatnya untuk segera pulang.

"Wah. Terima kasih. Sudah merepotkan." Tampak Pakde Sembodo terlihat meninggikan wajah, melihat pintu yang terus terbuka.

"Mbokde Karsih ntah ke mane, pokok sampaiken bae kek die og. Kami pulang." (Mbokde Karsih entah ke mana, yang penting sampaikan saja dengannya. Kami pulang).

"Ya, Bik. Nanti saya sampaikan kepadanya," jawab Pakde Sembodo.

Pakde Sembodo sendiri berdiri, menatap motor yang melaju terakhir. Bergegas dia masuk.

"Bu 'e!"

"Bu!"

"Nduk!"

Tak ada sahut teriak.

"Ke mana mereka?"

"Bu!"

****

Di tempat lain.

"Bagaimana ini, Mbak? Apa kita akan meninggalkannya di sini?"

"Kita harus menguburnya malam ini juga," jawab Kinanti.

"Kenapa harus terjadi seperti ini toh, Mbak. Hu hu hu."

"Jangan menangis! Diam!" teriak Kinanti.

"Kita harus segera menguburkan malam ini juga. Ayo!"

Dengan terus sesenggukan, Ajeng kembali meraih kaki mayat Mbokde Karsih. Selangkah demi selangkah mereka membawanya menjauh dari sisi jalan.

Bruk!

"Angkat," pinta Kinanti, begitu mengetahui Ajeng terlihat kesusahan dalam melangkah.

"Ajeng tak kuat lagi, Mbak."

"Cepat, Dik! Kamu mau Pakde Sembodo datang dan menemukan kita. Iya!"

"Hu hu hu." Dalam derai, Ajeng kembali mengangkat tubuh Mbokde Karsih.

"Bagaimana kalau kita kubur saja di sini," usul Ajeng, sungguh dia sudah tak sanggup melangkah.

"Tidak! Kita harus menguburnya jauh."

Bruk!

Kini Ajeng yang terjatuh.

"Bangun! Cepat, Dik!"

Ajeng meringis kesakitan, kedua lengan sudah dipenuhi darah dari tubuh Mbokde Karsih.

Keduanya lalu menyeret, membawa langkah tergesa.

****

Sementara itu di belakang rumah.

Pakde Sembodo berdiri di sisi sumur. Tanah yang dia pijak terasa basah. Air sudah menghilangkan darah Mbokde Karsih.

"Ke mana mereka? Mengapa ini ditinggalkan begitu saja di sini." Dia menggumam lalu melangkah ke dalam bilik dan kembali keluar, meninggalkan beberapa gelas di dalam wadah.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang