TABUR BUNGA KETAKUTAN

197 25 3
                                    

"Tidak mau mampir dulu?"

"Tidak usah. Lagi pula sepertinya Pakde Sembodo dan Mbokde Karsih belum pulang," kata Hasib, menoleh ke arah jendela yang terlihat gelap.

"Kalau begitu aku langsung pulang saja. Ayo, Rahim!" ajak Hasib kemudian.

Dua motor meninggalkan halaman rumah, meninggalkan Kinanti dan Ajeng yang masih berdiri di depan pintu.

Dengan perasaan berbunga-bunga. Entah apa yang dirasakan Kinanti kini, yang pasti hatinya begitu bahagia.

"Mbak."

"Eh, iya. Ada apa?" tanya Kinanti tersadar dari lamunan.

"Mbak, kenapa?"

"Ah, mau tahu saja," balas Kinanti meraih gagang pintu, senyumnya masih merekah di bibir.

"Memangnya Bang Hasib bicara apa, Mbak?" kejar Ajeng penasaran, setelah mereka ada di dalam.

Glek.

Kinanti mengunci pintu. "Sudah, ah, besok Mbak ceritakan." Kinanti mencolek hidung Ajeng.

"Ih, suka begitu toh. Jadi penasaran." Ajeng mengekor di belakang Kinanti.

Krek!

Keduanya serentak menoleh pintu yang sudah dikunci Kinanti. Pendar remang lampu teras terlihat jelas dari pintu depan yang terbuka setengah.

Kinanti mengerutkan dahi, yakin dia sudah menguncinya tadi. Kembali dia menuju pintu. Ajeng masih berdiri di ambang heng liong.

Kinanti menghentikan langkah saat di depan pintu sudah terserak helai kembang berwarna merah, itu tidak ada sewaktu dia masuk.

"Kembang?" Kinanti menoleh ke arah Ajeng.

"Ada apa, Mbak?"

"Kembang." Kinanti menunjuk ke lantai.

Ajeng melangkah kembali. "Kembang? Aku tadi tak merasa melihat serpihan kembang, benar toh? Apa Mbak, juga tadi melihatnya?"

Kinanti menggeleng.

"Lalu?"

Kinanti bergegas menutup pintu.

Glek!

Glek!

Dua putaran anak kunci terdengar, setelah Kinanti melangkah dan berdiri di samping Ajeng.

"Lalu ini kembang apa, Mbak." Ajeng mulai ketakutan.

"Sebaiknya kita segera ke kamar." Kinanti mulai meremas jari tangannya, mencoba menutupi rasa takutnya.

Tanpa mau berpikir panjang keduanya melangkah menuju kamar. Lagi-lagi Ajeng menahan langkah Kinanti.

"Mbak, itu Mbokde Karsih sudah pulang." Ajeng meraih bahu Kinanti, lalu mengarahkan telunjuk ke arah pintu belakang. Benar apa yang dikatakan Ajeng, Mbokde Karsih mengenakan kebaya merah dengan bebat jarit cokelat. Berdiri membelakangi mereka, diam bak patung, tetapi yang membuat mata keduanya bagai tak bisa berkedip adalah.

"Kenapa Mbokde Karsih memegang boneka itu. Bukankah boneka itu sudah Pakde Sembodo simpan?" Entah kepada siapa pertanyaan itu Ajeng lontarkan, tetapi yang pasti Kinanti juga menanyakan hal sama, di dalam hati.

"Mbokde?" panggil Kinanti, pelan.

"Mbokde, sudah pulang dari tadi?" ulangnya.

"Ada apa dengan Mbokde? Apakah dia marah dengan kita, Mbak?"

"Mbokde, kami minta maaf. Kalau kami pulang ...."

Dan permintaan maaf itu dijawab dengan langkah Mbokde Karsih, terlihat berat. Berjalan tanpa menoleh keduanya, menuju satu pintu.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang