EPILOG

274 18 7
                                    

Langit sudah lindap. Rukiah tergopoh menuju pintu.

Krek.

Setelah menguncinya, dia berbalik. "Kinanti!" Sungguh dia tak percaya kalau anaknya telah kembali.

"Kinanti, Nduk. Ibu sangat kangen denganmu." Sedih, bahagia, melebur dalam haru.

Rukiah hanya berdiri di depan Kinanti. "Kamu kenapa?"

Bergegas dia menuju jendela. Ditatapnya langit yang menghadirkan semburat jingga.

"Kamu kehujanan? Bajumu basah." Rukiah hanya mengerutkan dahi mendapati Kinanti hanya diam berdiri dengan tatap kosong.

"Mana Ajeng?"

"Ajeng!" teriak Rukiah. Tergopoh menuju kamar.

Srek!

Tirai pintu tersibak. Tak didapati sosok yang dia cari. Dengan terburu-buru dia kembali menghampiri Kinanti.

"Mana adikmu, Kinanti?"

"Siapa Ajeng?" jawab Kinanti. Terdengar dingin dalam suara bergetar, seperti orang kedinginan.

"Oh. Maafkan ibu, Nduk. Ibu tak menceritakan dari awal siapa kalian. Hu hu hu." Rukiah menangis. Segala duga mencuat tiba-tiba, akan rahasia yang dia simpan selama ini.

"Apakah kalian bertengkar? Hingga dia tak ikut kembali denganmu."

"Siapa Ajeng," ulang Kinanti.

Rukiah jatuh bersimpuh di kaki Kinanti. Air matanya berderai.

"Maafkan ibu, Nduk. Seharusnya ibu katakan kepadamu. Kalian adalah anak-anak ibu. Hu hu hu."

Kinanti masih berdiri tak bergeming. Matanya menatap lurus ke pintu.

"Kalian adalah anak-anakku. Tak akan ada yang memisahkan kalian."

"Siapa Ajeng."

"Hu hu hu." Tak tahan melihat Kinanti terus bertanya seperti itu, seakan-akan dia telah tahu rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat.

"Kalian hanya beda bapak, Nduk. Maafkan ibumu ini. Ibu tak bisa mencegahnya. Tak bisa. Hu hu hu."

"Pakdemu. Pakde Sembodo adalah orang yang telah menitipkan benih di rahim ibu. Bapakmu, Nduk. Dia bapakmu, Nduk."

"Maafkan ibu bila hanya karena itu kalian bertengkar. Hu hu hu."

"Maafkan ibu." Rukiah terus bersujud. Air matanya jatuh membasahi lantai tanah.

"Apa yang terjadi dengan Ajeng, Nduk. Kenapa dia tak ikut kembali."

"Apa yang telah kamu lakukan terhadapnya. Dia adikmu. Kalian adalah anak-anak ibu. Mana dia."

Tes!

Tes!

Tes!

Ada yang menetes dari gaun yang dikenakan Kinanti.

"Bajumu basah. Sebaiknya lekas ganti bajumu."

Kinanti melangkah meninggalkan Rukiah, masih bersimpuh di lantai.

"Hu hu hu." Rukiah terus menangis mengenang apa yang telah dia ucapkan. Mengenang bagaimana datang lelaki yang bersedia menikahinya, datang untuk bertanggung jawab atas apa yang telah kakaknya lakukan malam itu.

Itulah kenapa dia sedikit ragu kala itu, tetapi kehendak Kinanti, untuk tetap pergi menemuinya, tak mungkin dia cegah.

Kinanti dia lepas selain untuk bekerja. Berharap dia akan tahu kenyataan yang sesungguhnya, kalau dia darah daging Pakde Sembodo.

"Hu hu hu."

Beranjak dia dari kesedihan. Dia harus mengatakan ini, memberitahukan hal yang sebenarnya. "Kinanti harus tahu. Jangan hanya karena berbeda bapak dia memendam benci kepada Ajeng."

"Nduk?" Rukiah berdiri di ambang pintu.

"Dari mana kamu mendapat pakaian itu?"

Kinanti hanya berdiri membelakangi Rukiah. Mengenakan bawahan jarit. Tampak di kepalanya sudah dihias sanggul tekuk ukel.

"Nduk?" Rukiah tak beranjak. Sedikit ragu oleh perubahan sikap Kinanti yang dia kenal.

"Kebaya siapa yang kamu kenakan itu, Nduk?"

Kinanti perlahan menoleh. Menatap tajam ke arah Rukiah, dan.

"Akh!"

"Akh!"

PISUNGSUNG ©Kuswanoto3


𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang