MENGINAP

252 22 6
                                    

"Sebenarnya tak terlalu jauh, tetapi mengingat hari sudah larut, sebaiknya kalian menginap di rumah saya saja," katanya, lelaki yang duduk di samping Hasib. Dia tak lain adalah bapaknya, Ketua RT.

"Apa tidak merepotkan, kalau kami ...."

"Tidak. Itu kalau kalian berkenan. Tidak juga tak apa-apa."

"Sebaiknya kalian menginap saja. Besok pagi-pagi sekali, Hasib bisa mengantar kalian berdua. Rumah Pakde Sembodo ada di bagian ujung. Maklum lingkungan kami di sini masih banyak hutan," timpal perempuan yang datang dengan dua gelas di atas nampan.

"Kami sudah minum tadi di warung, Bu? Terima kasih."

"Tidak boleh. Kalau di Bangka, menolak pemberian orang lain itu akan kepun. Biar sedikit, kalian harus meminum atau memakannya." Istri Pak RT, duduk menghadap mereka.

"Benar sekali," sambung Hasib.

"Kalau kalian disuruh makan oleh orang yang tak kalian kenal, maka pantang bagi kalian menolaknya.'

"Ambil sebutir nasinya, makan. Itu cara kita menghormati pemberian orang lain, dan itu sudah turun-temurun, budaya kami di Bangka."

"Ada saja kesialan yang akan menimpa kita, kalau kalian menolaknya. Tak mungkin mereka memberikan racun di dalamnya. He he he," terang Pak RT.

"Celupkan jari kalian, untuk sesuatu pemberian berupa air minum. Biar setetes kalian harus minum air yang ada di ujung jari. Begitu maksud bapak," tandas Hasib.

Ajeng dan Kinanti hanya tersipu malu. Bukan tanpa sebab. Ibu mereka kerap mengajarkan untuk tak lantas percaya sesuatu apa pun pemberian orang yang tak mereka kenal.

"Maafkan saya, Pak, Bu. Sungguh, di Jawa memang berbeda dengan di sini."

"Tidak apa-apa. Bukan maksud kami menggurui, tetapi inilah tanah Bangka. Kalian harus menjunjung apa yang sudah menjadi tradisi di sini."

"Maaf. Kalau boleh tahu, silsilah kalian dengan Pakde Sembodo apa, ya?" tanya istri Pak RT.

"Hanya keponakan," jawab Kinanti.

"Kalian datang atas permintaannya, dan kalian sudah mengetahui kejadian tempo hari?"

"Maksudnya? Hem ... kami datang untuk bekerja di sini. Pakde Sembodo mengatakan dalam suratnya akan mencarikan kami pekerjaan di Bangka."

"Kejadian apa ya, Pak?" tanya Ajeng.

"Kalian belum tahu?"

Pertanyaan Hasib hanya dibalas saling tatap oleh Kinanti dan Ajeng.

Ajeng menggeleng. "Memang apa yang terjadi dengan Pakde Sembodo?"

"Bukan. Bukan Pakde Sembodo, tetapi keluarga Pakde kalian sedang berduka. Itu juga sudah beberapa hari lalu, tetapi musibah itu sangat membekas di tiap kepala warga sini," terang Bu RT.

"Maaf. Saya kok kurang paham akan perkataan, Bapak, Ibu."

"Pakde kalian baru saja kehilangan dua anaknya," potong Pak RT.

Suasana hening sejenak. Ajeng lantas menggenggam tangan Kinanti.

"Pakde kalian, sudah seperti warga asli di sini. Meski dia adalah perantau dari Jawa. Usahanya dalam mencari timah bisa dibilang paling menghasilkan. Bahkan bisa dibilang dia sangat beruntung. Selalu mendapatkan lokasi bagus. Intinya, dia yang paling berhasil dalam menambang timah."

"Bahkan dulunya, Pakde kalian itu ya sama seperti buruh yang lain. Mengharap upah dari jumlah yang ditentukan per kilo sahang." Pak RT mencoba tersenyum. Ada rona duka di wajah kedua tamunya.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang