YANG TAK DILIHAT KINANTI

189 18 2
                                    

"Ke mana Ahyar?" tanya Abdulah, terengah-engah.

"Aku tak tahu," ucap lelaki yang tak lain adalah Pakde Sembodo.

"Bagaimana anakmu bisa tahu, ha!"

"Kamu memberitahukan semua apa yang akan kita rencanakan. Iya!" bentak Pakde Sembodo.

"Jangan membentak! Kau tahu siapa aku!" balas Abdulah.

"Kau tahu apa risikonya kalau ritual itu gagal. Goblok!"

"Sungguh. Aku tak memberitahukan masalah ini dengan siapa pun, tanpa terkecuali anakku, Hasib."

"Lalu bagaimana sampai mereka tahu, ha!"

Pakde Sembodo mengempaskan bokong pada sebuah batu yang separuhnya tertanam ke tanah.

"Aku juga tak mengerti bagaimana dia bisa tahu."

"Bagaimana kalau kita masuk penjara karena ulah anakmu itu, ha."

"Aku pastikan dia tak akan membuat masalah baru." Abdulah, Pak RT, menghembuskan napas panjang. Otaknya berpikir keras, setelah mendengar kemungkinan yang diucapkan oleh Pakde Sembodo.

Keresek!

Ada sesuatu yang bergerak di semak yang semuanya menghitam.

"Siapa!" Pakde Sembodo bangkit, meski ragu, dia mencoba mendekat ke sisi kanan.

Krak!

Kakinya menginjak sebatang ranting. Bukan, itu bukan sebatang ranting, tetapi tumpukan ranting yang melindungi tanah sedikit gundukan.

Dia menunduk. Kakinya bergetar, teringat akan suatu peristiwa, peristiwa yang akan selalu dia sembunyikan.

****

"Tidak! Tidak! Tidak mau."

Tetapi empat orang itu tak menghiraukan teriakan bocah perempuan yang sudah terbaring di atas gelar beberapa daun simpur.

"Tidak! Akh!" Kuni terus berteriak ketakutan. Darah dari ayam hitam, terus menetes dan melumuri wajahnya.

"Bu, aku tidak mau, Bu. Pulang, Bu."

Tak ada yang bisa dia perbuat dalam keadaan tangan dan kaki terikat. Kuni hanya bisa meronta dan mengharap iba, memohon untuk segera pulang.

Sementara Pakde Sembodo, Abdulah, Mbokde Karsih, duduk bersila. Menyaksikan Nek Nah, terus menumpahkan darah ke badan Kuni. Baju putih yang dia kenakan, kini mulai terlihat merah.

"Ni. Ambik." (Ini. Ambil). Dalam samar gelap, Nek Nah terlihat menyerahkan satu senjata hunus.

Dengan bergetar, Mbokde Karsih menerimanya. Lantas memandang Pakde Sembodo, yang duduk di sampingnya.

Satu angguk kepala, tanda Pakde Sembodo meyakinkan untuk semua rencana yang telah mereka ambil.

"Aku tak tega, Pak."

"Terserah kek ikak," (Terserah dengan kalian), sambar Abdulah, yang duduk di samping Nek Nah.

"Kita sudah menyerahkannya, 'kan, Bu. Dan kamu sudah sepakat untuk masalah ini. Semua akan segera terbayar. Bayangkan ... bayangkan itu. Semua kemauanmu akan terkabul." Pakde Sembodo menggenggam kuat tangan Mbokde Karsih, yang memegang senjata. Semakin dia mengukuhkan untuk tak ragu bagi Mbokde Karsih untuk melakukannya.

"Tutup matea," (Tutup matanya), perintah Nek Nah.

Abdulah yang melakukannya, menutup mata Kuni, dengan kain hitam.

Anyir darah ayam jelas menyeruak.

"Aku tak mau melakukannya," kata Mbokde Karsih. Sontak ketiganya saling tatap.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang