PASAR SUNGAI LIAT

230 17 1
                                    

"Segala apa yang kalian rasa dan lihat. Itu hanya akibat Mbokde kalian masih sangat kehilangan kedua putrinya." Pakde Sembodo lalu menyeruput kopi, di hadapan Ajeng dan Kinanti.

"Kadang-kadang sikapnya dingin. Andai saja aku tak mengiyakan waktu itu, mungkin rumah ini makin ramai dengan kehadiran kalian. 

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Salma dan Kuni, ikut tewas dalam longsornya tambang milik Pakde."

Ajeng menutup mulut mendengarnya.

"Semua adalah kesalahanku. Membiarkannya berdiri di sisi tebing, yang mana dinding bawahnya sudah berongga akibat disemprot."

"Itu sebabnya Pakde mengirimkan surat kepada kalian," tambahnya.

"Sebagai rasa untuk menebus kesalahan Pakde, dan semenjak kedatangan kalian, kami berdua merasa anak-anak kami sudah kembali."

"Mbokde kalian. Aku baru menemukan dia yang dulu. Sikapnya begitu dingin sejak kejadian itu, tetapi kini kalian lihat. Pakde harap, kalian betah di sini."

"Untuk masalah kerja, Pakde?"

"Ha ha ha." Pakde Sembodo tertawa memotong ucapan Kinanti.

"Sejak kedatangan kalian. Kalian sudah bekerja."

Ajeng memandang Kinanti. "Sudah kerja, Pakde?"

"Iya. Kalian sudah bekerja di rumah ini. Oh, iya. Jangan sungkan-sungkan di rumah ini, anggap saja ini rumah kalian. Kalian bebas mau apa saja di rumah ini, dan yang perlu kalian ingat, upah kalian akan tetap kalian terima pada akhir tiap bulan."

"Ajeng jadi tidak paham, Pakde."

"Ajeng, Ajeng. Mana mungkin Pakde ini akan membiarkan kalian bekerja dengan orang yang tak kalian kenal. Kamu sudah remaja, bekerja di tempat orang yang belum kamu kenal? Segala macam bahaya mengintai. Kamu paham apa kata Pakde?"

"Kalian tak perlu bekerja, tak perlu melakukan layaknya pembantu di rumah ini. Ini rumah kalian. Kalian bisa melakukan apa saja. Untuk masalah kirim uang, biar Pakde yang atur semuanya. Jangan pernah pikirkan ibu kalian di Jawa, untuk masalah ini."

"Pakde dan Mbokde sudah tak lagi memiliki anak. Terutama Mbokde kalian. Pakde meminta kalian datang dengan tawaran pekerjaan, tak lain adalah untuk memastikan kalian datang. Pakde sangat merasa bersalah."

"Anggaplah Mbokde kalian itu sebagai ganti ibu kalian di sini."

"Sekarang kalian bersiap-siap. Pakde yang akan mengantar kalian menuju Dung Juang.

****

Sesampainya di depan Museum Juang.

"Kalau Pakde belum datang, kalian tunggulah sebentar di sini." Pakde Sembodo lalu memutar motor untuk kembali melalui Lubuk Kelik.

"Jam berapa, Bu, kira-kira kalian pulang?"

"Setengah hari. Sekitar jam itu."

"Ya, sudah.  Itu sudah ada mobilnya." Pakde Sembodo menunjuk satu angkutan kota berwarna kuning.

Mobil sudah berhenti di sisi bundaran. Tampak satu tugu pejuang di depan Museum Juang, Sungai Liat.

Mobil meluncur di jalur kiri. Jalan yang memiliki dua jalur akan membawa mereka melewati kompleks perkantoran Pemda Bangka, hingga sampai di pertigaan Masjid Agung Sungai Liat.

"Bangka tak ramai seperti jalanan di Jawa," kata Mbokde Karsih. Bak seorang ibu yang sedang menjelaskan kepada kedua anaknya.

"Tetapi karena alasan itu, Pakde kalian tak mau Mbokde ajak kembali ke Jawa. Selain lebih mudah mencari nafkah di sini, penduduk Bangka juga terkenal dengan sangat ramah-tamah."

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang