7 HARI

203 17 2
                                    

Jawa.

Hujan turun dengan lebatnya.

Duar!

Angin berembus kencang. Mengibarkan korden kamar hingga membawa titik air tempias masuk.

Rukiah, bergegas menutup jendela.

Glek.

Menguncinya rapat, seiring kilat menjulur di langit.

Lap!

Duar!

Dentum yang diakhiri suara gemuruh. Seakan langit terdengar runtuh.

Tes!

Tes!

Tes!

Dia menggeser baskom yang ada di lantai.

Deng!

Deng!

Deng!

Dan itu sudah terbiasa. Rukiah pasti akan dibuat bolak-balik ke dapur untuk mengambil beberapa wadah, lalu menapung air hujan yang masuk melalui celah genteng yang bocor.

"Deras sekali hujan kali ini." Tangannya yang basah dia gunakan untuk menyeka dahi.

Tes!

Tes!

Tes!

Air jatuh menetes. Membuat benda yang ada di atas meja, di samping tempat tidur, terlihat basah.

"Kenapa perasaanku tak enak."

Rukiah memilih duduk di tepi tempat tidur. Menoleh bantal yang sering digunakan Kinanti.

Diraihnya bantal kapuk, dia peluk erat, seakan itu adalah anaknya.

"Ibu sangat kangen dengan kalian, Nduk."

"Apakah kalian di sana juga ingat ibu. Di sini hujan, Nduk. Apakah di sana juga hujan. Apakah kalian tak basah. Hu hu hu." Rukiah menutup wajahnya dengan bantal.

Sepi terlalu kejam. Hadir mengiris perasaannya. Kangen yang terus menggayuti, kerap berkali-kali menjatuhkan air matanya.

"Andai kau masih hidup, Mas. Tentu aku tak akan kesepian seperti ini. Aku kangen kehadiran kalian." Rukiah lalu meletakkan bantal kembali. Sejenak dia meraih amplop putih, dia buka perlahan.

Uang kiriman yang dia ambil di Kantor Pos. Masih utuh, dan dia berjanji akan mengumpulkan uang dari jerih payah anaknya. Mengumpulkan hingga mereka kembali.

"Uang ini. Mungkin suatu saat akan berguna bagi kalian, tetapi ... oh. Hu hu hu."

Rukiah tak sanggup menahan laju deras air matanya. "Ibu hanya membutuhkan kalian, Nduk. Andai kalian tahu. Ibu sangat menderita tanpa kehadiran kalian di rumah ini. Rumah ini sudah tak hangat. Tak ada tawa kalian, rumah ini menjadi dingin dan sepi. Hu hu hu."

Betapa hati Rukiah menjerit, kangen teramat telah hadir menjerat, bahkan bukan kali ini saja, dia kerap menyembunyikan wajah di balik bantal, menyembunyikan air mata rindu yang sejenak hadir, lalu sirna mengabu.

"Ah." Dia mendesah.

Kembali dia mengembalikan amplop, meletakkannya. Dengan bantal, dia menindihnya, menyimpannya hingga kedua anaknya kembali.

Tes!

Tes!

Tes!

Tersadar Rukiah. Dia menoleh ke arah meja yang ada di sisinya. Kertas putih itu sudah basah oleh air yang jatuh menetes.

Dia mengambilnya. Di matanya, kertas itu sudah tak lagi menyisakan tulisan. Luntur bersama basah yang menghilangkan isi surat yang ditulis oleh Pakde Sembodo.

"Bukankah surat ini telah mereka bawa? Kenapa masih ada di meja ini? Bukankah surat ini ...."

"Oh!"

****

Bangka.

Fatamorgana tercipta dari aspal yang disiram terik. Seorang perempuan berjalan menyusuri koridor, lalu berhenti tepat di depan sebuah warung yang menjual warta.

Tampak satu lelaki yang duduk membaca koran. 

Mobil Pownis yang menuju Pangkal Pinang telah mengalami kecelakaan. Evakuasi bangkai mobil terus diupayakan hingga kemarin. Sopir dan kondektur, ditemukan sudah tidak bernyawa. Mengapung di permukaan air, setelah salah satu warga menemukannya.

Lubang bekas galian tambang timah serta air yang terlalu dalam, menjadi salah satu kendala untuk mengangkat bangkai mobil.

Menurut pihak pengelola Pownis. Sudah dipastikan tidak ada penumpang, sebab semua penumpang sudah turun di Selindung. Dalam keterangannya, dia mengatakan, kalau mobil tersebut akan segera kembali ke terminal Sungai Liat. 

Demikian isi berita di halaman pertama. Kabar yang terus menjadi pemberitaan sebuah media lokal Babel Pos.

"Koran, Mang," kata perempuan tadi.

"Eh. Nak koran yang mane," (Eh. Mau koran yang mana), kata penjual

"Yang itu." perempuan itu menunjuk koran yang terlipat di atas meja.

"Tu koran lame. Lah tuju ari. Along koran ari ni. Nia ka pilih." (Itu koran lama. Sudah tujuh hari. Mending koran hari ini. Ini silakan pilih). Penjual itu mengambil dan meletakkan berbagai terbitan media.

"Aku mau yang itu."

Penjual itu sedikit kebingungan. Belum ada pembeli sejak tadi pagi yang memilih koran lama untuk dibacanya.

"Berapa?"

"Dua ribu." Ragu dia menyebutkan harga sejumlah itu, bagi koran bekas.

Perempuan itu menyerahkan selembar uang, setelah menerima koran bekas.

"Bentar, og." (Sebentar, ya). Penjual menarik laci yang ada di meja. Memilih beberapa lembar uang kembalian.

"Ini ...."

Perempuan itu sudah menghilang. Meninggalkan rasa tak percaya bagi penjual koran.

"Cepet nian die pegi." (Cepat sekali perginya).

Lalu dia keluar, dan berdiri di atas trotoar, "Ke mane urang bini yang pakai kebaya mirah tu?" (Ke mana perempuan yang mengenakan kebaya merah itu?).





SEKIAN DAN SAMPAI JUMPA

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang