PENGHUNI KAMAR

561 30 17
                                    

"Sembile kejadiane?" (Kapan kejadiannya?), bisiknya, lelaki tua duduk bersila. Di hadapannya terlihat beberapa makanan yang sudah saling tukar. Tampak puluhan lelaki yang juga duduk bersila melingkar di dalam surau kecil. Dulang yang menghadirkan warna merah dipadu oranye, tergeletak tak jauh dari nampan yang berisi makanan.

"Lah tuju ari ase ku, men dak salah," (Sudah tujuh hari perasaan, kalau tidak salah), jawab lelaki yang ada di sebelahnya. Mulutnya tak berhenti mengunyah.

"Ude a ngape ulak Salma kek Kuni. Ndak abis pikirku." (Sudah itu kenapa juga Salma dan Kuni. Aku tidak habis pikir).

"Namea bae musibah. Sape yang nek, Mang," (Namanya juga musibah. Siapa yang mau, Mang), potong lelaki itu. Tangannya kembali meraih laksa yang dibungkus daun mangkuk. Menyeruput sejenak kuah ikan tenggiri, lalu matanya menatap lelaki yang ada di hadapannya. Terbatas jarak tengah yang berisi deret dulang.

"Ka tingok Pakde Sembodo tu. asian ulik, og," (Kau lihat Pakde Sembodo itu. Kasihan juga, ya), imbuhnya, setelah meletakkan daun mangkuk lalu menyambar ceret.

"Ndak tau ngapelah, name ge lah ajal. Cigak anye a ku ndengere." (Bisa berbuat apa, namanya ajal. Aku hanya dibuat terkejut mendengarnya). Lelaki tua meraih korek dari saku baju, menyulut ujung keretek.

Suasana riuh rendah oleh suara obrolan. Sesekali terdengar denting gelas beling saling adu.

Acara 1 Muharam baru saja selesai. Peringatan hari besar Islam yang kerap mereka sambut dengan acara menganggung di surau.

"Sudahlah, Pakde Sembodo. Untuk apa lagi diingat-ingat. Doakan saja mereka. Garis hidup manusia tak ada yang tahu harus seperti apa caranya. Bisa meninggal kapan saja."

Pakde Sembodo, lelaki paruh baya. Mencoba tersenyum. Terasa hambar, lalu kembali tertunduk.

"Aku turut berbelasungkawa," lanjutnya, lalu menepuk dua kali punggung Pakde Sembodo.

"Terima kasih." Singkat. Masih tampak sisa kejadian itu dalam raut berduka.

"Kalau begitu aku permisi lebih dulu. Mau jemput anak."

Pakde Sembodo mengangguk. Mempersilakan lelaki dengan serban melingkar di leher berlalu.

"Yo, semuena. Ku permisi luk, og," (Mari, semuanya. Aku permisi dulu, ya), ucapnya kepada semua yang hadir.

"Cepeta. Nak ke mane ge ke buru-buru. Kelaklah," (Cepat sekali. Mau ke mana buru-buru. Nanti dulu), jawab satu orang yang tadi terlibat obrol di sudut surau.

"Guyurlah ikak. Lah dijemput anak," (Silakan kalian nikmati saja. Sudah dijemput anak), jawabnya.

"Aoklah. nak tu bae og. Yo semuene og," (Baiklah. Seperti itu saja, ya. Mari, semuanya), imbuhnya permisi, lalu pergi menuju pintu.

****

Jalan menuju Lubuk Kelik.

Jalan yang mengarah ke Lubuk Kelik, tidaklah seperti remang jalanan kota. Hanya tanah puru tanpa penerangan. Banyak ditumbuhi pohon karet di kedua sisinya, menghadirkan tambah pekat oleh ranting berdaun. 

Bukit Kembar yang biasa terlihat kala siang, menambah seram. Menjulang berdekatan, tetapi yang menambah seram adalah kolong bekas longsoran, tak jauh dari jalan. Bukan hanya cerita yang menyertai, tetapi kondisi yang sudah sepi. Sejak kejadian itu, semua penambang memutuskan untuk tak lagi mencari timah di lahan tandus itu.

Sorot lampu yang sedari tadi membelah malam terlihat berhenti di pinggir jalan. Tanpa ada yang menghalangi. Sinar kumpulan bintang yang jatuh di atas air sedikit memantul cahaya, sedikit memperjelas keadaan dengan ditambah sorot lampu motor.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang