MISTERI PERSEMBAHAN

185 22 0
                                    

"Apa dia yang telah mencuri uang itu!" Ajeng terengah setelah sampai di belakang, dan mereka tak mendapati sosok itu.

"Aku rasa iya. Uang itu hilang beserta kemunculannya." Kinanti tak kalah terengah.

"Lebih baik kita ke rumah Nek Nah. Dia harus tahu apa yang telah diperbuat oleh anaknya. Bila tidak, masalah baru akan menimpa kita. Kita akan pula dituduh mencuri, Mbak."

"Ayo." Kinanti sependapat, lalu meninggalkan tempat itu dengan diikuti Ajeng.

****

"Bagaimana dia bisa tahu dan mengambilnya."

"Aku rasa dia telah mengintai selama ini."

"Bahkan ruangan itu tak berjendela," cerocos Ajeng.

Asap putih terlihat mengepul dari kejauhan. Mereka terus menyusuri jalan yang dulu pernah dilalui, belukar kecil bak pagar hidup, yang dibelah jalan setapak.

Makin jelas sumber asap, keluar dari tumpuk daun kering yang ada di depan rumah beratap rumbia.

Srek.

Srek!

Tubuh renta dengan memegang gagang sapu, terus mengumpulkan daun kering yang dibawa angin jatuh di halaman.

"Assalamualaikum, Nek?"

Nek Nah segera berbalik. Satu matanya yang rusak membuat ciut nyali Ajeng.

"Ngape pulik ikak ke sini." (Mau apa lagi kalian ke sini). Kerut di dahinya makin dalam, memperjelas siapa yang datang lewat satu tatap mata.

"Kami hanya sebentar, Nek." Ajeng menelan ludah, saat sapa dibalas oleh tatap tak suka.

Tetapi Kinanti mencolek lengannya, saat di bangku teras. Tampak anak Nek Nah, duduk menggantung kaki. Keduanya saksama memperhatikan, tak ada terlihat pula rambut acak-acakan seperti yang mereka lihat tadi. Rambut itu rapi dengan sedikit basah, terlihat panjang sebahu, bahkan dia mengenakan kaus putih dan juga celana panjang.

"Ape hale." (Ada apa).

Keduanya terjungkat kaget, saat wajah Nek Nah muncul di hadapan keduanya.

"Eh ... kami hanya ...."

Nek Nah membuang pandang mengikuti apa yang mereka lihat tadi, ke arah anaknya. Selanjutnya selayang lirik dia memandang Ajeng dan Kinanti.

"Apa anak Nek Nah, baru saja pulang ... eh, maksudku ...."

"Pulang? Dari pagi die ndak ke mane." (Pulang? Dari pagi dia tidak ke mana-mana).

"Tidak ke mana-mana? Tetapi baru saja kami melihat ...."

"Suruh die pegi! Ukanku yang mbunuha. Ukanku!" (Suruh dia pergi! Bukan aku yang membunuhnya. Bukan aku!). Lelaki itu berteriak, setengah ketakutan seraya bergegas ke dalam.

"Along ikak pulang." (Mending kalian segera pulang). Nek Nah meninggalkan keduanya.

Gelotak!

Seraya menghempaskan sapu ke tanah.

Kinanti dan Ajeng tak bisa berkata-kata, hanya saling tatap.

Drek!

Pintu rumah ditutup, meninggalkan mereka yang terus berdiri, dikelilingi sunyi yang menyergap menyapa.

"Mana mungkin?" bisik Kinanti.

"Tetapi, Mbak. Lihat sendiri, 'kan? Orang gila itu ...." Ajeng mengentakkan kedua tangan, seakan tak percaya kenyataan yang didapat.

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang