22. Kepergian Sang Putri

17 1 0
                                    

Aku menemui Rainer di ruangannya. Dia menunjukkan profil sang pendonor yang cocok dengan tubuh Gia. Seorang anak perempuan yang sudah tak ada harapan hidup menurut medis. Umur yang sama dengan Gia, Golongan darah yang sama dan berat badan yang hampir sama.

"Rain, dia disini?" Tanyaku.

"Barusan sampai. Dia sedang menunggu kamar rawat inap,"

"Kasih dia ruang VVIP,"

"Oke, Mom."

"Mommy tunggu di kamar Gia ya. Kalau beres, kabarin."

Aku keluar ruangan Rainer. Thomas sudah menunggu diluar dengan penuh harap. Aku tersenyum padanya lalu memeluk tubuh besarnya. Terdengar jantungnya yang berdegup kencang. Aku mulai mendengar isakan Thomas. Aku tahu, dia pasti sedang bahagia saat ini.

Aku menemui orang tua si pendonor jantung. Mereka lebih muda dariku. Aku menemui mereka hanya ingin mendengar alasan dan berterima kasih.

"Fira begitu cantik," Kataku seraya membelai surai halusnya.

"Saat saya mendengar Gia butuh donor jantung, entah kenapa saya sangat ingin langsung menyetujuinya." Ucap sang ibu pendonor.

"Kenapa bu? Saya ingin dengar alasan dari keputusan besar ini,"

"Saya sudah nggak sanggup menanggung semua biaya rumah sakitnya. Tanpa semua alat ini, Fira nggak bisa hidup. Sudah berusaha berhutang selama tiga bulan ini hanya untuk Fira. Saya beneran sudah nggak sanggup," Tangis ibunda Fira pecah seketika.

"Padahal Fira anak yang baik. Dia harus menanggung ini semua karena kebodohan saya biarkan dia membawa motor sendiri." Ayah Fira mulai berbicara dalam tangisnya. Bahunya bergetar hebat. Saat itu juga aku mengingat bagaimana Thomas menangis untuk Gia.

"Setidaknya jika Fira tidak ada, disaat terakhirnya, dia masih bisa menolong seseorang. Saya ikhlas. Gia ada harapan untuk melanjutkan hidupnya. Saya akan bantu."

Jika aku ada diposisi ibunda Fira, apakah aku sanggup untuk memberikan keputusan ini? Mataku begitu panas. Air mata yang kutahan sudah tak bisa bertahan. Aku mengambil tangan Fira, mencium punggung tangannya.

"Terimakasih dan maafkan Tante, sayang." Hanya itu yang bisa aku katakan.

Thomas masuk ke ruangan ini dengan membawa Gia diatas kursi roda. Gia sudah menangis. Ia ingin bertemu Fira.

"Hai Fira, Namaku Gia. Maaf jika aku jahat mengambil jantungmu. Tapi aku janji, aku bakal jagain jantung mau di tubuh aku. Aku janji akan hidup sehat dengan jantung kamu—oh, dengan kamu. Iya, kita bisa berteman melalui jantung ini. Aku, Mommy sama Daddy sangat menghargai bantuan kamu. Terimakasih sudah mau membantuku untuk tetap hidup." Gia berusaha berdiri dan Thomas dengan sigap langsung membantunya. Gia memeluk tubuh lemah Fira. Sungguh pemandangan yang sangat haru. Aku rasanya ingin keluar. Namun, kaki ini sangat di kunci erat keadaan.

••••

Jendra menemui Rainer yang sedang makan siang di kantin. Hari ini adalah hari transplantasi jantung Gia. Sore ini lebih tepatnya.

"Sudah ketemu opsi kedua?" Tanya Jendra.

"Nggak ada opsi kedua. Nggak akan ada."

"Kamu siap?"

Rainer hanya diam menatap papanya dengan tatapan tajam lalu meninggalkan Jendra sendiri. Jendra hendak mengikuti anaknya tapi Thomas tiba-tiba datang.

"Kenapa tuh anak mukanya ditekuk gitu?" Tanya Thomas seraya duduk berhadapan dengan Jendra.

"Ada pasien yang susah ketemu jalan keluarnya. Dia emang gitu. Btw, Gimana Gia?"

"Tinggal eksekusi aja sih. Lu bakalan ikut?"

[REVISI] 'Rumah' Yang Sebenarnya 'Rumah' 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang