24. Tak Ada Harapan

14 0 0
                                    

Jeff kembali dengan baju yang berbeda. Ketika semua sudah tertidur, aku sengaja bangun untuk menunggu kedatangannya. Seorang Jeff ketika menjadi seekor singa liar, ia takkan sekalipun melepas mangsanya hingga musna. Sifat temurun dari kakeknya sangat kental dalam diri Jeff.

"Mommy belum tidur?"

"Sengaja nunggu kamu,"

"Jeff mau mandi dulu ya. Nanti kita nonton bareng?"

"Mommy tunggu,"

Tak lama menunggu Jeff membersihkan dirinya dan berganti pakaian tidur. Aku menyalakan TV, membawakan beberapa cemilan dan teh hangat untuknya.

Aku duduk pada sofa panjang lalu Jeff menyusul untuk tidur pada pahaku. Jemarinya memainkan remote untuk menemukan film yang pas ditonton malam ini.

"Daddy tidur kan?"

"Kenapa?"

"Di makam tadi, Daddy gimana?"

"Biasa aja sih. Nggak ada yang berarti dari kalimatnya selain minta maaf,"

"Dimaafin?"

"Enggak."

"Terus?"

"Mommy bakalan ninggalin Daddy kamu." Keputusan paling menyakitkan yang harus aku ambil.

Jeff langsung mendudukkan posisinya. Wajahnya sangat serius. "Mommy yakin?"

"Daddy kamu akan tetap seperti ini, Jeff. Seenggaknya kita bisa pisah baik-baik,"

"Nggak ada pisah yang baik-baik, Mom. Terus mommy gimana? Maksud Jeff, Mommy tetep disini dan Daddy yang keluar dari rumah ini kan?"

"Mommy yang ke apartemen ya?"

"Mom, no.. Aku lebih rela Daddy yang keluar dari rumah ini,"

"Jangan gitulah. Daddy butuh rumah ini, butuh kalian dan butuh—"

"Butuh kamu!" Suara Thomas memotong kalimatku. Netraku dan Jeff langsung beralih kearah kamar. "Tega kamu ninggalin aku?" Thomas melangkah mendekati kami berdua.

"Masuk kamar, Jeff. Mommy perlu berdua sama Daddy,"

"Oke, Mom. Good night," Jeff menatap kosong Thomas lalu pergi.

"Maksud kamu apa sih?!" Nada tinggi Thomas menggema.

Aku memegang tangan Thomas lalu membawanya untuk duduk bersama. "Anak cucu kamu udah pada tidur, Thom. Kecilin suaranya ya,"

Thomas mengambil nafas lalu membuangnya gusar. "Maksud kamu apa, Sa?"

Aku terdiam sejenak. Mengusap tangan besar Thomas dengan ibu jariku. "Nggak ada yang ninggalin kamu. Kamu yang mutusin untuk pergi. Berapa kali, Thom? Aku nggak mau ada pertengkaran. Mungkin ini yang terbaik untuk kita sementara ini."

"Aku nggak mau!" Netra Thomas yang penuh kekecewaan, harapan dan kesedihan bercampur menjadi satu menuntutku dengan keras untuk tetap disini.

"Aku udah daftarin perceraian kita. Anggaplah aku egois. Tapi, aku lebih nggak mau bikin kita semakin buruk tanpa ada penyelesaian."

Air mata Thomas sudah banyak berjatuhan. Tanganku semakin erat ia genggam. Tangisnya semakin membesar hingga membuatku tak tega. Namun, aku harus menghentikan semuanya.

"Thon.." Aku mengangkat sedikit tubuhnya agar aku bisa memeluk lelaki kuat itu.

"Nggak mau! Aku nggak mau!" Thomas menangis di pelukanku.

Aku mengusap punggung Thomas yang entah sudah berapa kali menolak untuk berpisah. Dia harus menerima resikonya. Istana yang sekian lama ia bangun, ia hancurkan sendiri dengan menghadirkan orang baru dan ia sempat pulang ke rumah yang aku anggap murahan. Thomas sudah tersesat beberapa kali. Saatnya ia belajar lagi untuk menghafal peta rumah yang sesungguhnya.

[REVISI] 'Rumah' Yang Sebenarnya 'Rumah' 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang