23. Bukan Hari Baik

7 0 0
                                    

Seminggu setelah kepergian Gia, tidak ada yang berubah. Thomas masih sering melamun, Devara dan Devaro yang masih tiba-tiba pingin tidur kamar Gia dan yang paling parah, Venly masih sering menangis sendiri di gazebo belakang rumah. Joanna yang selalu bersama Gia pun masih sering keceplosan ingin pergi bersama Gia.

Makan malam hari ini hanya ada aku, Thomas, Jeff dan Angga. Yang lain pergi ke kamar masing-masing dengan alasan sudah makan malam diluar.

"Dad, pergi yuk," Ajak Jeff.

Thomas meletakkan alat makannya. "Malem gini kemana?"

"Party?"

Thomas seketika melirikku yang masih sibuk makan.

"Pergi aja. Tapi janji nggak nakal. Pulang baik-baik. Jangan terlalu mabok," Aku mengizinkan dengan berat hati. Tapi, jika itu membuat ketiga pria ini bisa melupakan sejenak apa yang menggangu pikiran mereka, yasudah, aku mengizinkan.

Selesai makan malam mereka bertiga pergi ditambah dengan Andy yang baru datang lalu pergi lagi mengikuti mereka. Aku dan Karina membereskan semua piring kotor seperti biasanya lalu berpisah lagi untuk istirahat di kamar masing-masing.

Netraku terganggu dengan Joanna yang tiba-tiba masuk ke kamar Gia saat aku akan menuju ke kamarku sendiri. Aku memutar arahku untuk mengikuti Joanna.

Aku berdiri tepat di depan pintu kamar yang sedikit terbuka. Terdengar suara Joanna yang menangis lalu tiba-tiba tertawa keras.

"Lo tau, Gi. Gue sempet jelek hati pingin banget jadi princess di keluarga ini. Gue pingin disayang sama Daddy sepenuh dia sayang sama lo. Mommy apalagi. Mommy kalau manjain lo tuh selalu nggak kira-kira. Gue iri banget! Sekarang, Lo pergi. Bisa nggak sih Lo pergi juga dari pikiran mereka. Gue pingin punya keluarga yang cuma mandang gue satu satunya," Dengan nada seperti menahan tangis, Joanna mengungkapkan perasaannya. Ia mengambil foto Gia pada meja belajar Gia lalu mengelusnya dengan ibu jarinya. "Tapi, seiri-irinya gue sama lo, gue sayang banget sama lo, Gi. Lo bikin gue selalu berharga bahkan di mata Rainer. Lo nggak pernah bikin gue beda walaupun kasih sayang Daddy sama Mommy terasa beda di gue. Terus kalau lo pergi, gue gimana? Tempat lo untuk mereka nggak akan pernah tergantikan. Apa mereka masih anggap gue sesuai keinginan gue? Dari kecil gue sama lo. Semua gue lakuin sama lo. Seminggu yang lalu kita pisah dan dipisahkannya sama Tuhan. Gue gimana, Gi?" Nada emosi mulai menjadi irama dalam setiap kalimat yang Joanna ucapkan. Hatiku merasa sakit. Aku yang merasa sudah adil, tapi ternyata ada diantara mereka yang merasa tak adil.

Aku memberanikan diri untuk masuk. Joanna dengan terkejut melihatku. Meletakkan foto Gia buru-buru lalu bola matanya memutar tak menentu.

"Mommy, dari kapan disini?" Joanna mencoba terlihat tenang.

"Daritadi," Aku mendekat kearahnya lalu mendekapnya dengan hangat. "Joanna sama Gia buat Mommy itu sama aja. Mungkin kalau Daddy bersikap lebih ke Gia, kamu harus bisa mengerti bahwa Gia adalah harapan terbesar Daddy saat itu. Jujur, kita nggak pernah merasa membedakan kalian. Dari segi apapun. Tapi, kalau Joanna merasa ada yang nggak adil, maafin Mommy sama Daddy ya." Joanna menjatuhkan kepalanya pada pundakku. Terasa badannya yang bergetar karena menangis. Aku tepuk punggungnya perlahan. Aku biarkan ia menangis di pelukanku. Merasakan tangisnya itu lebih baik daripada tidak. Meskipun Joanna bukan darah dagingku, tapi aku sangat bisa merasakan kesedihannya jika pada momen seperti ini.

 Meskipun Joanna bukan darah dagingku, tapi aku sangat bisa merasakan kesedihannya jika pada momen seperti ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[REVISI] 'Rumah' Yang Sebenarnya 'Rumah' 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang