Reinand POV
Sebuah topless kecil berisi pil-pil yang tak kuketahui fungsinya, terus kumainkan. Benda ini kutemukan di dalam tas Kei, karena penasaran jadi aku mengambilnya.
Kuharap dia tak menyadarinya.
Mengingat wanita yang kini sedang terkurung di rumahku itu, membuatku tak henti-hentinya tersenyum dan sesekali tertawa. Mungkin orang yang melihatku akan berpikiran aku sudah gila.
Well aku memang gila, karena Kei.
Sedang apa dia sekarang?
Sebuah senyum tersungging dari bibirku.
Dia pasti sedang kesal setengah mati, gara-gara membaca note yang ku tempelkan di kulkas.
Aku beritahu kalian, aku menggodanya habis-habisan di note itu. Bisa kubayangkan wajahnya yang seperti udang rebus saking kesalnya.
Ini masih jam delapan malam, tapi aku sudah tak tahan ingin segera pulang. Aku merasa seperti suami yang merindukan istrinya di rumah, namun sayang istrinya sedang marah. Aku bisa membayangkan bagaimana ekspresinya saat bertemu denganku nanti. Wajahnya merah menahan amarah dengan mata menyala. Dan hal terburuk yang kupikirkan adalah aku akan mati di tangannya.
Ting
Pintu lift terbuka, aku keluar dengan langkah yang cepat.
Brukkk
Seseorang menabrak tubuhku, atau mungkin akulah yang menabraknya.
"Maaf, aku tidak sengaja" ucap si penabrak, seorang wani dengan mata berkaca-kaca.
"Tak apa-apa, aku juga salah berjalan terlalu cepat"
Dia memaksakan senyum di wajahnya yang sembap karena menangis, lalu pergi meninggalkanku.
Siapa dia? Batinku
Melihat arah dia berjalan tadi, sepertinya dia baru saja dari area apartemenku. Tapi siapa yang ditujunya?
Apakah Keira?Ahh kenapa aku harus memikirkan hal tak penting seperti ini. Bisa saja kan dia hanya sekedar lewat.
Aku memasuki apartemen, berharap menemukan wajah kesal Kei.
Hanya ada bekas camilan yang berserakan di meja, dan juga beberapa CD.
Dimana dia?
Apa dia meninggalkan rumah ini?Sebelum pertanyaan yang ada di kepalaku terjawab, aku melihat pintu kamar terbuka.
Dia disana. Menyembunyikan wajah di kedua lututnya yang dipeluk erat oleh kedua lengannya. Punggungnya bersandar ke pinggiran ranjang. Tubuhnya bergetar, dan terlihat dari cara tangannya memeluk kedua lututnya, aku yakin dia ketakutan.
Tapi, apa yang membuatnya ketakutan?Jarak dari tempatku berdiri ke tempatnya berada, sekitar empat meter lebit. Tapi entah bagaimana caranya, aku bisa menempuhnya hanya dalam satu kedipan mata. Aku bukan vampir ataupun serigala yang memiliki kekuatan untuk melesat. Tapi kenapa aku bisa melakukannya.
Jangan tanya aku. Karena sudah kubilang, aku sendiripun tak tahu bagaimana caranya. Mungkin itu hanya refleks. Aahh sudahlah lupakan.Tanganku terulur menyentuh bahunya yang gemetaran.
Kepalanya terangkat, wajahnya terlihat pucat. Dia menatapku dengan mata sayu. Tak ada air mata.
Hanya sekejap dia menatapku, karena yang terjadi selanjutnya dia memelukku erat. Kuulurkan tanganku, membalas pelukannya.
Kulitnya yang tak tertutup kain terasa dingin, tubuhnya bergetar.Ada apa dengannya?
Bukan ekspresi seperti ini yang kuharapkan, aku lebih baik menghadapi tatapan matanya yang tajam tanpa rasa takut dengan amarah yang meledak sekalipun.
Bukan ekspresi tak berdaya seperti ini.