Aku bergerak gelisah di kursiku. Tanganku sudah berkeringat dingin. Rei menggenggam tanganku di balik meja yang memisahkan kami dengan dua orang yang juga tampak gelisah di tempat duduknya.
Suasana canggung sepertinya masih enggan beranjak pergi. Beruntung Rei memilih tempat di ruangan terbuka memudahkanku mengambil udara sebanyak yang kubutuhkan. Dan sepertinya sebanyak apapun udara yang kuhirup dadaku masih tetap terasa sesak seolah membutuhkan pasokan oksigen yang lebih banyak.
Aku tahu rasa sesak di dadaku ini disebabkan karena aku terlalu tegang menghadapi dua orang yang sudah tiga tahun ini berusaha kulupakan.
Rei sempat menyarankan untuk membatalkan niatku tapi aku menolaknya. Karena aku ingin semua masalah di masa laluku segera berakhir agar aku bisa memulai hidup baru tanpa bayangan-bayangan masa lalu yang menyakitkan menggangguku. Aku berharap setelah merelakan dan melepaskan mereka hidupku bisa bebas tanpa harus terbelenggu oleh rasa sakit yang selama ini kupendam.
Tak ada lagi rasa sakit dan takut yang menghantui hatiku saat bertemu mereka. Itu karena hatiku lebih siap dari pada sebelumnya. Meski begitu, aku tetap saja merasa gugup harus menghadapi mereka berdua.
"Ehmm . . ."
Suara deheman Rei berhasil mengurangi atmosfer ketegangan yang sejak tadi menyelubungi kami.
"Kalian berdua pernah meminta bantuanku untuk bisa bertemu Kei. Sekarang dia ada di depan kalian, jadi segera katakan apa yang ingin kalian sampaikan!" Ujar Rei tenang pada kedua orang yang sedari tadi menatapku seperti seorang terpidana mati dan aku sebagai algojonya.
"Aku....." ucap Will dan Via serentak.
"Kompak sekali." cibir Rei mengutarakan apa yang ada di pikiranku. "Sebagai mantan sahabatnya kau jelaskan terlebih dulu alasanmu menghianati Kei." Lanjut Rei memberi penekanan pada kata mantan.
Via melirikku sekilas, lalu mengambil nafas panjang.
"Kei... Maafkan aku." Suaranya bergetar saat mengucapkan namaku.
Aku hanya meliriknya sekilas tanpa berniat membalas ucapannya.
"Kau pasti tidak akan memaafkanku. Tapi setidaknya kau harus tahu alasan aku melakukannya. Tak ada sedikitpun niatku untuk menghianatimu walau aku melakukannya dalam keadaan sadar." Ujar Via tersenyum getir.
Bayangan itu kembali berkelebat dalam ingatanku. Aku yang saat itu dalam kondisi down karena harus menyaksikan ibuku disiksa pria brengsek itu, membutuhkan dukungan semangat dari kekasih dan sahabatku namun justru yang kutemukan adalah pukulan telak di ulu hatiku karena harus menyaksikan dua orang yang selama ini kupercayai tengah asyik bermain hasrat.
Ingin rasanya aku berteriak pada wanita di depanku ini, mengatakan betapa dia tak memiliki hati nurani karena sudah menghianatiku. Tapi yang dikatakannya sungguh di luar dugaanku.
"Aku melakukannya karena sudah sejak lama aku menyimpan rasa pada Will, jauh sebelum Will mengenalmu dan akhirnya memilihmu untuk jadi kekasihnya."
Pengakuan Via tak hanya membuatku terkejut, tapi juga Will yang sepertinya baru menyadari fakta tersebut.
"Sebagai sahabatmu aku memang bahagia karena kau mendapatkan kekasih seperti Will, tapi sebagai seorang wanita yang cintanya bertepuk sebelah tangan aku tak dapat menyembunyikan rasa sakitku. Aku selalu merasa bahagia dan sakit di waktu yang bersamaan saat melihatmu bersama Will."
Senyum getir yang sejak tadi terpasang di wajahnya seolah menggambarkan seberapa dalam luka yang selama ini dipendamnya gara-gara ketidak pekaanku.
Ada rasa sakit yang tiba-tiba saja datang saat membayangkan jika akulah yang saat itu ada diposisinya. Aku tidak akan setegar Via. Aku tidak akan bisa berbahagia untuknya disaat aku harus merasakan sakit karenanya. Tapi ini Via, sahabat yang memiliki perasaan tulus menyayangiku bahkan disaat ia harus terluka karena aku.