Keira
Suara gelak tawa kembali terdengar di ruangan cafe ini saat Satya kembali mengeluarkan candaannya.
Saat ini aku berada di tengah-tengah rekan kerjaku. Kami sedang mengadakan pesta perpisahan di salah satu cafe langganan kami mengadakan pesta.
Ini adalah pesta perpisahanku. Aku memutuskan untuk mengundurkan diri sebelum kembali ke Australia besok.
Awalnya aku tidak berniat mengadakan pesta, tapi semua rekan kerjaku memaksa. Mereka bahkan siap bayar masing-masing karena memang bukan acara kantor lebih ke pribadi saja.
Aku jadi tidak tega melihat antusiasme mereka. Dan akhirnya akupun mengiyakan.
Aku merasa beruntung memiliki mereka. Kebahagiaan yang kurasakan saat berada diantara mereka selalu mengingatkanku akan kehangatan sebuah keluarga yang sudah tak kumiliki. Jadi saat ini merekalah keluargaku. Keluarga yang terpaksa harus kulepaskan demi hidupku yang lebih baik. Aku tahu ini sulit, teramat sulit namun aku harus melakukannya.
"Pak Alex datang tuh Kei." Vanya menyenggol lenganku.
"Wah si Bapak telat nih!" Seru Gio.
"Gak kebagian jatah tau rasa loh Pak." Balas Andi.
"Selow man, jatah si Bapak udah stand by di rumah." Celetuk Satya yang disambut seruan huuuhhh dari karyawan lainnya.
"Eh lihat Pak Alex datang sama siapa tuh?" Tunjuk Vanya ke arah seorang pria yang mengekor di belakang Pak Alex.
Semua mata tertuju padanya termasuk juga mataku.
Aku hampir saja lupa mengatupkan mulutku yang terbuka karena tak percaya akan kedatangannya.
"Suatu kehormatan Pak CEO mau datang ke pesta kecil kami." Sambut Gio menyiapkan sebuah kursi kosong untuk kedua orang itu.
"Hanya Pak CEO? Saya tidak?" Tanya Pak Alex dengan nada merajuk yang kami tahu hanya bercanda.
"Bapak disini saja di pangkuan saya." Balas Satya dengan nada genit khasnya jika sedang menggoda.
"Tidak terimakasih. Yang di rumah selalu stand by untuk saya, lagian saya tidak doyan terong." Balas Pak Alex dengan mimik sok serius.
"Mari Pak Rei duduk." Ajak Pak Alex pada Rei yang sedari tadi hanya memandangiku dengan tatapan tajamnya.
Rei hanya menggeleng lalu melangkah menuju arahku, semakin dekat langkahnya aku semakin tak nyaman di kursiku.
"Vanya, boleh saya duduk di tempatmu?" Pertanyaan Rei menyadarkan Vanya yang sempat melamun karena kedatangan Rei yang tiba-tiba.
Aku memegang lengan Vanya erat, berharap dia menolak permintaan Rei. Aku tidak ingin duduk bersebelahan dengannya.
Tapi sepertinya pesona Rei mampu mengalahkan solidaritasnya sebagai teman. Dengan salah tingkah Vanya mempersilahkan Rei duduk di tempatnya, sedangkan dia mencari tempat duduk lainnya.
Aku berniat meenyusulnya, tapi dengan cekatan Rei menahan pinggangku sebelum aku benar-benar berdiri. Dia melakukan hal itu tanpa mengucapkan sepatah katapun, hanya menatapku tajam mengisyaratkan agar aku tetap disini.
Aku yang tak ingin membuat orang lain curiga hanya bisa menurut pasrah.
Selama acara berlangsung aku tidak bisa menikmatinya. Keberadaan Rei di sampingku membuatku tak nyaman. Padahal dia terlihat begitu menikmatinya dengan sesekali melempar candaan pada karyawan yang pasti tak dikenalinya satu persatu.
Tapi tak jarang disela keramaian acara berlangsung, dia menatap tajam ke arahku. Tatapan yang tak dapat kuartikan mengingat sejak kedatangannya dari London yang mendadak bersikap tak acuh padaku dan sekarang dia disini hanya untuk menghadiri perpisahanku.