Satu tahun kemudian. . .
Sudah beberapa hari terakhir ini terdengar desas-desus para karyawan tentang kembalinya pimpinan perusahaan yang dulu. Siapa lagi kalau bukan pewaris tunggal keluarga Welch. Reinand Fernandez Welch.
Tapi sampai detik ini aku belum pernah sekalipun melihatnya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku jika bertemu dengannya. Jangankan melihat wajahnya, hanya dengan mendengar atau menyebut namanya saja selalu menimbulkan efek lain di hatiku. Walaupun sebenarnya aku sudah sangat merindukannya.
Aku merindukannya!
Yah, kalian tidak salah. Aku memang merindukan pria itu. Pria yang datang tiba-tiba dalam kehidupanku, merecoki hidupku dengan caranya yang unik membuatku bergantung padanya lalu meninggalkanku begitu saja. Pria yang satu tahun terakhir ini selalu mengganggu pikiranku. Pria yang kubenci namun sangat kurindukan.
Ah sudahlah lupakan tentang pria itu. Sudah saatnya aku kembali bekerja.
Aku dan Vanya sudah berada di dalam lift. Vanya tak henti-hentinya mengoceh meskipun dia tahu aku tak mendengarkannya. Temanku ini memang unik. Selalu asyik dengan ocehannya sendiri, tak perduli lawan bicaranya merespon atau tidak.
Ting.
Pintu lift terbuka, beberapa orang masuk ke dalam. Pandanganku terhenti pada dua orang yang masuk paling belakang. Seorang pria bersama wanita dalam gandengannya.
Kejadian itu terjadi begitu lambat, seperti adegan slow motion dalam film.
Tubuhku menegang menatap si pria tanpa berkedip. Pria yang tadi kuceritakan pada kalian kini berada di depanku, bersama seorang wanita yang bergelayut manja dalam gandengan pria itu.
Itu Rei!!!
Pria yang siang malam kurindukan.
Dia disini.
Bersama seorang wanita.
Jlebb.Rei melewatiku begitu saja lalu berdiri di sampingku. Oh tidak, bukan di sampingku tapi di samping wanitanya yang berdiri di sampingku.
Tanpa terasa nafasku tertahan. Lift yang bisa menampung lebih dari sepuluh orang ini terasa seperti ruangan sempit yang hanya ada aku dan Rei. Aku butuh oksigen sebanyak mungkin sebelum mati berdiri disini.
Hanya tiga lantai lagi yang harus kulewati, tapi aku merasa seperti harus melaluinya berpuluh-puluh jam.
Sesekali aku melirik ke arah samping, dimana wanita itu tengah menyandarkan kepalanya ke bahu Rei.
Rei tidak melirikku sama sekali, meski aku yakin dia mengetahui keberadaanku. Dia seolah tak mengenaliku dan tetap fokus pada wanita yang bersandar di bahunya, membelai lembut rambut panjang yang tergerai milik wanitanya.
Rasa sesak langsung menikam dadaku. Beruntung setelah itu lift terbuka dan tanpa pikir panjang aku langsung keluar. Mengambil nafas sebanyak-banyaknya, tapi tetap saja dadaku masih terasa sesak.
Aku kembali bekerja dengan pikiran yang tidak pada tempatnya. Vanya kembali mengoceh tentang betapa tidak sopannya wanita yang tadi bermanja-manja pada Rei di tempat umum. Bukan aku tak sependapat dengan Vanya, tapi aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri menata perasaan yang kini tengah memenuhi hatiku, agar tidak menangis atau menjerit tiba-tiba.
***
"Kei tolong anterin ini ke ruangan Pak Rei." Pinta Pak Alex.
"Kenapa harus saya Pak?"
"Ibu Viviane yang minta, beliau ada di ruangan Pak Rei sekarang. Mungkin ada yang ingin beliau katakan padamu, jadi beliau memintamu secara khusus untuk mengantarkan berkas-berkas ini." Jelas Pak Alex panjang lebar.