"Arrgghh, kenapa aku baru menyadari kejanggalan itu..."
Erangan frustasi terdengar sangat jelas saat kesadaranku mulai pulih. Aku mengenali suara itu.
"Itu karena kau terlalu bodoh. Setidaknya kau bisa langsung menyerahkan obat itu padaku. Sebagai dokter aku pasti akan dengan senang hati memberitahumu kalau dia mengkonsumsi obat anti depresi berdosis tinggi itu." timpal suara lain.
"Sudahlah Dav itu tak penting. Yang terpenting sekarang, bagaimana caranya agar dia bisa lepas dari pengaruh obat sialan itu dan trauma yang dia alami bisa segera sembuh." Balas suara yang mengerang tadi yang kuyakini adalah suara Rei yang tengah berbincang dengan temannya yang bernama Dav.
Hening... Percakapan mereka terhenti, mungkin salah satu dari mereka tengah berpikir. Aku tak tahu pasti karena aku masih belum membuka mata, walau sebenarnya mata ini sudah tidak tahan ingin segera terbuka.
"Ikut aku...!" Ajak sebuah suara yang kukenali suara Dav.
Terdengar suara pintu terbuka diikuti suara langkah kaki. Apa mereka sudah keluar?
Kupicingkan sedikit mataku, memastikan kedua orang itu sudah keluar dari ruangan ini. Lalu kubuka seluruh mataku setelah yakin mereka sudah benar-benar keluar.
Mataku menelisik setiap sudut ruangan yang bernuansa putih. Ini rumah sakit. Kenapa aku disini?
Kusingkapkan selimut yang menutupi tubuhku, menampilkan tubuhku yang terbalut baju berwarna merah menyala seperti sebuah simbol yang menunjukkan kemarahan yang menyelimuti hatiku saat melihat pria itu muncul.
Kebencian yang kupendam selama tiga tahun terakhir ini kembali mengobarkan api kemarahan di dadaku saat pria itu semakin mendekat ke arahku. Aku ingin membunuhnya saat itu juga. Membunuhnya dengan tanganku seperti dia menggunakan tangannya untuk menyerahkan nyawa ibuku kepada Sang Pencipta.
Perasaan itu kembali muncul saat memoryku memutar kejadian semalam. Marah, benci, kecewa dan juga rindu menyelubungi hatiku.
Kemarahan yang timbul saat rasa benci yang kupendam pada pria itu kembali muncul ke permukaan.
Kecewa pada diriku sendiri karena menjadi wanita lemah. Hanya bergantung pada orang lain saat kepedihan melanda hatiku, tanpa berusaha untuk keluar dari lingkaran kepedihan yang menyelubungi kehidupanku dan Mommy. Aku merindukan Mommy yang selalu tersenyum meski kutahu hatinya terluka.Bayangan Mommy dengan wajah lebam seperti terlihat jelas di depanku. Matanya menyorotkan kepedihan yang mendalam. Diikuti bayangan-bayangan Mommy yang lain saat pria itu menyiksanya, fisik maupun bathinnya. Diakhiri dengan bayangan Mommy yang bersimbah darah dan pria itu yang tersenyum licik padaku.
Semua itu terus berputar dalam otakku seperti sebuah film yang sudah diprogram.
"Tidaaaaaakkkk..."
Jeritan histeris terlolos begitu saja dari mulutku dengan telapak tangan menutupi kedua telingaku. Mataku terpejam, tubuhku bergetar, jantungku berdetak tak menentu dan aku ketakutan. Aku ingin semua perasaan yang tengah menyelimuti hatiku ini segera pergi. Dan juga bayangan-bayangan tentang Mommy yang terluka segera pergi dari pikiranku.
Aku butuh ketenangan."Pergiiiiii. . ."
Entah itu jeritan yang keberapa yang terus meluncur dari mulutku tanpa dikomando. Perlahan jeritan itu berubah jadi isakan.
Pintu terbuka dan seseorang dengan penampilan yang jauh dari kata sempurna masuk ke dalam ruangan.
Dengan tergesa, Rei yang berpenampilan semrawut berlari menghampiriku.
"Kei . . ." Panggilnya pelan.
"A . . . ak . . u ."
Tak ada suara lain yang keluar dari mulutku selain kata itu. Berbeda dengan saat tadi aku menjerit ketakutan.