Keira POV
Tanganku memainkan kaleng soft drink yang sudah habis setengahnya. Mataku tertuju pada ujung sepatuku tanpa berani beralih barang sedetikpun.
Setelah ciuman panas tadi aku tak berani menatap ke arah lain selain sepatuku. Aku terlalu malu untuk melihat ke arah lain, apalagi ke arah samping tempat Rei duduk dan menatapku intens membuatku merasa jengah . . . Well dan juga malu.
Mengingat bagaimana tadi aku membalas ciuman Rei dengan begitu agresif. Ah tidak, jangan ingatkan aku. Mukaku sudah panas tanpa harus memikirkan kegiatan panas tadi. Aku takut mukaku akan segera terbakar saking panasnya.
Seharusnya tadi aku langsung mendorong tubuh Rei lalu menamparnya sekeras yang kubisa. Tapi bukannya melakukan hal itu, aku justru membalas ciumannya yang emmm, menggairahkan.
Oh tidak!!
Kenapa otakku jadi mesum begini?
Aku harus pergi dari sini sebelum otakku semakin tidak beres.
Aku baru akan bangkit dari dudukku saat Rei mengucapkan sesuatu yang tak begitu jelas.
"Jangan pergi!"
Rei mengulang ucapannya. Keningku berkerut tak mengerti maksudnya yang melarangku pergi. Aku tak bisa berlama-lama disini, aku takut hilang kendali lagi.
"Jangan pergi!"
Rei kembali mengucapkan kalimat itu dengan wajah, sedihkah? Well mungkin lebih memprihatinkan.
"Tapi aku harus pergi." Jawabku.
Rei bangkit, mendekat ke arahku. Kini dia berdiri menjulang di depanku yang masih terduduk.
"Setelah apa yang kau lakukan padaku, kau akan pergi begitu saja?" Teriaknya sedikit tertahan, seperti menahan rasa sakit kurasa.
Bukankah dia duluan yang menciumku, kenapa sekarang dia menyalahkanku?
"Keira dengar! Aku tak perduli sekalipun aku tidak bisa memilikimu ataupun kau tak memiliki perasaan apapun padaku. Asal aku bisa melihatmu, itu sudah cukup untukku. Dan sekarang kau memutuskan untuk menjauh dari hidupku? Demi apapun Keira, aku bisa gila!!!"
Rei mengacak rambutnya, frustasi?
Sedangkan aku? Aku hanya melongo tak mengerti kemana arah pembicaraan Rei.Rei menarik bahuku, memaksaku berdiri di depannya. Apa yang akan dia lakukan? Apa dia akan menciumku lagi?
Mungkin rezeki anak sholeh.
Stop Kei!
Aduh, kenapa otakku jadi begini? Kemana perginya Kei yang pemalu?
Tapi kan aku tidak pemalu. Ah Sudahlah.Kembali pada pria di depanku.
Tidak ada ciumannya, Rei hanya menatapku tanpa berkedip membuatku merasa risih. Takut tiba-tiba setan di kepalaku datang dan mengkomando untuk mencium bibir menggoda milik Rei.
Oh tidak!!
Hei otak! Berhetilah berfungsi..."Aku harus pergi!" Ucapku pelan.
Aku berusaha melepaskan cekalan tangan Rei di bahuku, tapi dia tetap bergeming.
"Rei please, diantara kita tidak pernah ada apa-apa. Kita hanya bertemu karena kebetulan, lalu dipersatukan oleh Qyu dan karena sifat kepedulianmu kau membantuku lepas dari trauma masa laluku."
Akhirnya otakku kembali normal.
"Sekarang Qyu sudah tidak ada dan berkat bantuanmu aku bisa bebas tanpa terkekang akan traumaku. Semuanya sudah selesai, kau telah memutuskan untuk kembali menjadi Rei yang tak kukenal, Rei yang tak bisa kujangkau..."