|| Satu []

107 13 8
                                    

Gadis itu memang bernapas dengan tenang. Lembut, terembus halus. Netranya pun terpejam, menyelam dalam kegelapan ruangan serta kegelapan di balik kelopak matanya sendiri. Keduanya tangannya bertautan di dalam selimut yang masih rapi terbentang menutupi ujung kakinya sampai sebatas leher. Sekilas, dirinya tampak tidur dengan lelap, barangkali sedang damai di sebuah mimpi indah-

Satu tarikan napas, dia bersin.

Lalu, sepasang netra sewarna daun teh keringnya pun terbuka di dalam kegelapan.

"Hah, mimpi indah apanya," katanya datar.Maksudnya, benar-benar datar. Jadi, tak ada yang tahu-entah dirinya baru saja menggerutu, mengeluh, ataupun merutuk. Yah, dia hanya mengatakannya. Tanpa nada. Oh, bahkan hampir-hampir tanpa suara.

Sekali lagi, bersin.

Kali ini, diikuti juga dengan batuk-batuk kecil, membuat dirinya terpaksa bangkit duduk dari posisi berbaringnya demi melegakan tenggorokan. Tenang saja, dirinya tidak sakit-sakitan, apalagi sedang di ambang sekarat atau semacamnya-gadis itu baik-baik saja. Bahkan, terbukti sangat, untuk melewati beragam situasi yang cukup membuat orang lain sekarat. Yah ... tetapi, ada atau tanpa sangat, hanya ada satu kecuali yang bisa membuat dirinya tidak baik-baik saja.

Yakni suhu udara beku di dini hari.

Alias yang sedang dihadapinya saat ini.

Gadis itu membesut hidung, seusai tenggorokannya yang kering gara-gara menghirup udara dingin menjadi reda, meski sedikit saja. Di saat seperti inilah dia merasa ingin menggorok lehernya sendiri gara-gara kering kerontangnya tak tertahankan bagai sebatang pohon tua terkutuk. Tatapan matanya yang masih setengah, beredar memindai tiap jengkal kegelapan di ruangan. Tatapannya pun menemukan, bahwa perlahan-lahan, yang dia kira kehampaan telah berubah menjadi kegelapan, dan kegelapan telah berubah menjadi keremangan-berkat adanya seberkas sinar lembut berwarna biru di satu sisi ruangan dari celah ventilasi.

Desah napas terlolos darinya. Ini masih dini hari.

Maka, dia pun melangkah turun dari atas ranjang dan menghampiri berkas cahaya samar nan pudar berwarna bias biru itu. Jendela berbingkai ganda seukuran pintu menghadang, lantas jemarinya membuka gerendel jendela tersebut.

Baiklah. Bersama cangkang selimutnya yang setia, dirinya tidak akan mendapatkan situasi tidak baik-baik saja yang lebih buruk dari saat ini.

Lantas, gadis itu melangkah melewati celah jendela. Berganti pijakan. Dari yang awalnya ubin-ubin lantai kamarnya, menjadi susunan ubin keramik serambi di luar kamarnya yang terbuka menghadap dunia luar.

Dunia luar, yang-

Gadis itu bersin, sekali lagi.

Dunia luar yang beku bukan main, batinnya datar sembari menangkup hidung dengan kedua tangan berlapis selimut. Berharap itu akan menghangatkan sedikit saja hidungnya yang kedinginan. Hei. Andai tidak sedang dimusuhi alam mimpi dengan begitu benci, hingga dipaksa terbangun lebih awal tanpa diperbolehkan melengkapi hak istirahatnya lagi, dirinya juga tidak sudi menjemur diri di dini hari seperti ini. Tidak, terima kasih. Mau mati beku pun sejujurnya dia tidak peduli, karena menjadi tidak peduli adalah caranya bisa bertahan hidup sampai sini. Namun, setidaknya, dirinya masih belum kehilangan akal.

Tidak akan ada yang bisa lebih hilang akal dari dirinya saat ini, bukan?

Tunggu dulu.

Gadis itu mendekati pembatas serambi dengan langkah tanpa suara, mencondongkan diri dengan berhati-hati agar tidak menyentuh pembatas serambi-yang pasti hanya melipatgandakan rasa bekunya-demi memperjelas penglihatannya akan sekelebat sosok bergerak di antara gemingnya alam yang masih lelap di dini hari.

QuietUsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang