Sirkulasi energi sihir yang bagai kabut di sekitarnya tetap tak berubah. Rheas merentangkan telapak tangannya, mengatupkan jari-jemari dalam tangkupan sendiri, dan mengulanginya beberapa kali untuk kedua tangan. Hm. Kondisinya sudah lebih baik. Selama tidak memaksa dirinya segera kembali menguras konsentrasi pada sihir seperti beberapa tempo hari, Rheas akan semakin baik-baik saja.
Lagi pula, berjalan memang metode terbaik untuk dilakukan kini.
Daripada muncul sekejap mata beruntun di setiap titik petunjuk yang dikatakan Arkiv dan menerbangkan lebih banyak jejak pengendalian sihir, menelusuri semua petunjuk satu demi satu jauh lebih baik. Meski dirinya perlu menambahkan sekeping lagi stok kesabaran di kepalanya untuk itu.
"Hei, Rheas."
Rheas menoleh, dan mendapati itulah Riori—berdiri tepat di belakangnya sembari mengibas jubah kelam yang dikenakannya sepanjang hari. Hanya seperti biasanya, Rheas menyorotkan sepatah, "Apa?" tanpa suara kepada netra sewarna bara nan menyala itu.
"Apa yang membuatmu tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Riori tanpa berbasa-basi. "Bukankah awalnya kau keras kepala tidak mau pergi menuruti catatan Arkiv itu? Sekarang, justru kau yang memimpin paling depan, tahu."
Rheas mendebas. Hah. Tentu saja pertanyaan itu akan muncul dari Riori, yang mau bagaimanapun juga adalah seorang prajurit bayangan—baik masih diakui atau tidak, itu tetap menggariskan kriteria bahwa Riori berbakat dalam hal-hal merepotkan. Misalnya, seperti terlatih berfirasat tajam pada siapa saja.
Tak ada lagi yang perlu diperiksa dari sihir di tasnya. Rheas tak punya pilihan selain menghadapkan atensi kepada Riori yang sudah memosisikan diri dengan duduk manis melipat kaki di hadapan. Apa pemuda itu tidak tahu bagaimana seharusnya dia memanfaatkan waktu jeda istirahat sejenak dari perjalanan?
Ah.
Justru, Riori mengincar ini sehingga tadi dia meminta waktu istirahat.
"Hei. Jangan lari, dong, Rheas."
Tentu saja, si prajurit bayangan pun sudah berposisi siap melontarkan diri seketika bak sebongkah batu yang menarik dirinya sendiri di pita ketapel, jika Rheas berusaha lari.
Ketika Rheas membenci Riori adalah ketika Rioi terlalu mudah mengunci segala celah dirinya. Terkadang, pemuda bermata merah itu berkesan seakan dia sudah mengetahui segalanya.
"Riori. Seharusnya kau tahu kenapa," sahut Rheas datar. "Itu karena aku melakukan apa yang terbaik untuk dilakukan saja."
Riori tersenyum. Saat ini, Rheas kembali memerhatikan sepasang gurat luka yang tertinggal menjejak abadi di masing-masing garis pipi Riori. Luka sehitam abu yang telah mati baranya.
Tanpa diperintah aba-aba, Rheas mengingat kembali bagaimana saat itu, dirinya berkata mutlak kala Arthkrai dan Riori telah terbangun sepenuhnya dari tidur dalam mereka. Bahwa dirinya sudah memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sesuai dengan catatan yang ada dalam Arkiv. Membangunkan sepenuhnya kedua pemuda itu untuk lekas mengumpulkan kesadaran sebelum membuat Rheas mengulangi kata-katanya sekali lagi.
Rheas tidak peduli akan bagaimana pun pandangan Arthkrai dan Riori pada pilihannya yang amat mendadak saat itu. Dirinya hanya melakukan apa yang perlu dilakukan. Demi bertahan hidup, terutama—
Demi mempertahankan Arthkrai dan Riori agar tetap hidup.
"Rheas?"
Ah. Hampir saja dirinya terlupa bahwa di sini dan saat ini Riori sedang berbicara dengannya. "Hm. Ya. Tenang saja, aku memutuskan ini dengan kepala dingin. Juga, aku percaya pada Arthkrai." Tatapan Rheas bergulir pada si pangeran, yang tampak bersibuk fokus dengan Arkiv di tangannya agak jauh di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
QuietUs
FantasySatu kebangkitan sihir memanggil sebuah buku bernama Arkiv yang menuliskan rahasia masa depan, dan ada tiga yang harus menjaganya diam; Arthkrai, sang pangeran yang terlalu mudah mengurai air mata. Dia yang memanggil malapetaka itu, bisakah tegar hi...