Pemuda itu memang bernapas dengan tenang. Hanyut, berirama sama dengan denyut jantungnya. Pun, netranya tergaris rapat, seakan mendekap kegelapan ruangan yang mengukungnya dengan erat. Selimut tipis bergelung di satu tangannya yang meremas, sementara satu tangannya lagi tersembunyi di baliknya. Sekilas, dirinya tampak tidur dengan lelap, barangkali tengah dibuai arus sungai sebuah mimpi indah-
Satu tarikan napas, dan dia tersentak.
Lalu, sepasang netra sewarna bara apinya pun terbuka seolah menyala di tengah kegelapan.
"Mimpi indah, ya?" bisiknya rendah. Lirih tetapi menyayat. Genggaman jemarinya yang kebas dipaksa bergerak mendadak pun mengerat. Sebilah belati yang terhunus tanpa aba-aba di sana berkilat tajam, persis seperti bagaimana matanya yang terbuka lebar menerawang ke seisi ruangan. Kala fokus dari kelima indra tajamnya tidak menemukan apa-apa yang diwaspadainya, kesadaran pun segera mengganti dominasi insting yang sempat mengambil alih refleksnya.
Ah, ini menjengkelkan juga.
Dirinya merangkai tawa tanpa makna. Sembari memutar belati di tangannya bermain naik dan turun berpindah jemari. Oh, rupanya ini belati yang berhias batu rubi. Berarti, andai mimpi buruknya tadi bermanifestasi menjadi seorang penyusup sungguhan, dia pasti sial juga tertusuk kutukan yang menyebarkan racun ke seluruh pembuluh darahnya seketika.
Hm, padahal dirinya berharap yang terambil tangannya secara instring tadi adalah belati tipis yang berukir sulur, yang mantra kutukannya adalah kematian instan. Pemuda itu tidak selera berbaik hati menghadiahkan mimpi buruk macam tadi penyiksaan sebelum mati. Andai saja mimpi benar-benar bisa dibunuh, dijamin dirinya akan membunuh mimpi buruk itu sebelum si mimpi buruk bahkan bisa menyadarinya.
Wah, malam-malam begini, dirinya tidak bisa tertawa keras-keras supaya seperti gila sungguhan, ya.
Pemuda itu melonggarkan kuda-kudanya yang terpasang tegang, mengembalikan pula belati yang diambilnya-tetapi tidak jadi. Karena dia menyadari bahwa segala kantuk yang bersemanyam di kepalanya telah terusir habis oleh si mimpi buruk. Ayolah, kenapa kantuk di kepalanya sepengecut ini? Ke mana perginya rengekan si rasa kantuk yang membuatnya dua kali terantuk dahan pohon saat mengelilingi hutan di akhir jadwal patrolinya tadi?
Pemuda itu menunduk, menatap tangan kanannya yang menggenggam belati. Ruangan kamarnya ini memang masih total oleh kegelapan, menandakan malam yang masih amat larut di luar sana, tetapi matanya sudah terlatih untuk menjelma bak api sungguhan yang mengusir kegelapan. Setidaknya, meski tidak sehebat mata binatang-binatang nokturnal, dirinya sudah berteman dengan kegelapan untuk bisa lekas mengenali segala bayang-bayang dan gerakan di dalamnya. Sehingga, walau hanya selarik siluet bilah tajamnya, dia memang sedang menatap belati batu rubi itu di atas jari-jemarinya yang berbayang gamang.
Sekejap mata, dalam kegelapan, semua hitam berubah menjadi merah padam.
Belati itu masih ada di tangannya, dan kini berlumuran darah yang bukan miliknya.
Ketika napasnya yang hampir tenang kembali tertahan bisu, sekejap mata kemudian segalanya sirna. Kembali seperti semula, belatinya yang ada dalam genggaman tangannya tanpa berbasuh apa-apa selain kegelapan yang berbayang.
Dirinya kalah cepat meraih kesadaran, karena sepotong suara menyusul berbisik dari merah padam berdarah-darah yang sebelumnya.
"Riori."
Suara itu lenyap dalam sekejap. Riori menjalankan kembali napasnya dengan memakai kembali irama yang digunakannya saat tidur.
Satu tarikan napas, dirinya pun mengembangkan senyum.
Mana ada mimpi indah yang berdarah-darah.
Namun, kalau mau benar-benar jadi mimpi buruk yang menghantuinya hingga bisa membuat dirinya tadi membanting belati di tangannya berkelontangan di lantai, seharusnya suara tadi tidak sekadar memanggil namanya. Juga setidaknya, jangan cuma tunjukkan pemandangan penuh darah tanpa keberadaan satu pun mayat yang dikenalinya. Suara tadi, akan merdu sekali kalau mengatakan padanya antara untuk hidup atau mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
QuietUs
FantasySatu kebangkitan sihir memanggil sebuah buku bernama Arkiv yang menuliskan rahasia masa depan, dan ada tiga yang harus menjaganya diam; Arthkrai, sang pangeran yang terlalu mudah mengurai air mata. Dia yang memanggil malapetaka itu, bisakah tegar hi...