|| Dua Puluh Satu []

13 5 22
                                    

Rheas mengerjapkan mata.

Bukannya tidak percaya, hanya saja, sinar yang berpendar di telapak tangannya ini masih terasa kurang nyata. Mungkin karena kebas di jari-jemarinya, sensor peraba di kulitnya ini masih menimbang-nimbang barangkali ini satu lagi ilusi lain. Namun, mana mungkin dirinya lupa akan sensasi silau yang menusuk-nusuk kelopak matanya ini, sehingga sebelah lengannya refleks terangkat memayungi wajah. Silau dari cahaya yang benderang terhampar rata, memperlihatkan cakrawala biru berawan putih yang cerah dan menyengat mata.

Ah. Rheas tidak menyangka dirinya bisa merasa rindu dengan cahaya matahari.

Setelah lama berkelana di bawah bayangan lebat dedaunan pohon hutan yang saling berkelindan, dengan rasa terperangkap rapat meski berada di alam luar nan liar, langkah-langkah Rheas akhirnya meninggalkan semua itu dan menjejaki tanah berumput yang disinari matahari.

"Benar, bukan?" seru Arthkrai kala menyadari langkah Rheas yang menyusul, menoleh padanya dengan berbinar-binar. "Kita berhasil keluar dari belantara tanpa menunggu waktu lama! Seperti kata Arkiv!"

Rheas mendebas. "Yah, baiklah. Kau mulai sombong dengan Arkiv milikmu, ternyata."

"Eh, bukan begitu—"

"Itu namanya percaya diri, tahu, Rheas."

Rheas menoleh pada suara yang menceletuk ikut campur itu, yang berada tak jauh dari beberapa langkah di depannya. "Riori. Apa yang sedang kau lakukan? Apa akhirnya kau benar-benar jadi gila setelah keluar dari belantara itu?"

Dirinya berkata begitu karena, lihat saja, pemuda bermata merah itu merebah dengan kedua tangan dan kaki terbuka lebar-lebar di atas tanah yang hanya beralaskan rerumputan, dan mungkin bebatuan. Bisa-bisanya Riori berbaring di sana dengan wajah tersenyum lebar seakan dia tidak sedang tampak seperti gelandangan.

"Reuni kembali dengan matahari setelah entah sekian lama," jawab Riori dengan bernada. "Ayolah, Rheas. Atau kau sedang mencemaskan bayangan yang kau tinggalkan tanpa ucapan selamat tinggal?"

Hm. Bayangan, ya.

Benaknya seketika melayang pada bagaimana mereka bertiga berpisah dengan satu lagi istilah bayangan yang lain, sebelum bayangan belantara ini. Bagaimana tidak ada satu pun yang mati.




***




"Tidak ada yang bisa menang melawan masa depan."

Sang Kapten akhirnya kembali bersuara ketika Arthkrai—dengan diawasi Rheas—mulai merantainya dengan sihir yang berpendar terang di tengah kelamnya remang belantara. Riori sudah mengganti belati dengan pedangnya untuk terus mengintai leher sang Kapten.

"Tetapi kalian tidak akan bisa menang melawan kematian."

Riori menggerutu dengan alis terangkat heran, "Kau masih bersikeras dengan itu juga, Kapten? Bahwa Arkiv adalah buku sihir pembawa kutukan dan kematian?"

"Tenang saja!" Sahutan Arthkrai muncul membawa hawa optimis dan keyakinan dalam senyuman. "Kami akan segera mengatasinya. Arkiv tidak akan dilenyapkan, tetapi ... hmm, intinya ada cara yang lebih baik untuk itu. Semua akan baik-baik saja selama kami bertiga menanganinya bersama."

"Kalian bertiga, Pangeran?" tanya sang Kapten. "Jadi, temanmu, Riori si pengawalmu ini juga termasuk akan ikut?"

"Apa kau punya masalah dengan itu, Kapten?" potong Riori sembari merekahkan senyum, memiringkan bilah pedang lebih tajam melesak di leher pria itu. "Pertaruhanku yang tadi masih berlaku, kalau kau tahu-tahu berkeras kepala membunuhku supaya aku tidak jadi pergi bersama kedua temanku."

QuietUsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang