|| Lima Belas []

18 4 15
                                    

Mau bagaimanapun juga, Rheas terpana.

Gadis asing berpostur mungil yang beberapa saat lalu baru saja menyelamatkan nyawanya bertiga dengan nyawa Arthkrai serta Riori itu tersenyum lebar. Seakan-akan dia sudah menduga dan senang bahwa reaksi Rheas terbukti sesuai yang dia duga. Sebelah taringnya terlihat karena tampaknya lebih mencuat dari kebanyakan orang, seraya gadis itu berputar dan membuat rok yang dikenakannya mengembang. Riang nadanya, dia berkata, "Selamat datang di dusun klanku, Rheas!"

Rheas menebar pandangan. Sungguh. Benar-benar ada dusun di dalam belantara liar macam ini—

Tunggu.

"Hei. Dari mana kau tahu namaku?"

Dirinya mengakui bahwa gadis asing itu telah menyelamatkan mereka. Muncul di titik genting, mengalahkan Monster Kegelapan dengan telak. Namun, biarkan Rheas menipiskan gamang yang tadi masih menghantui kepalanya. Ya. Dirinya tahu-tahu berpindah tempat, lengkap bersama Arthkrai dan Riori. Portal sihir teleportasi, pasti.

Masalahnya, gadis penyihir itu sama sekali tidak bertanya lebih dulu sebelum memindahkan mereka bertiga kemari, ke tempat yang katanya adalah dusun klannya ini.

Rheas tak peduli pun sudi akan balas budi andai seseorang itu berniat buruk. Jemari tangan kanannya berkedut meraba aliran sihir yang mengawang teratur di sini, siap meledakkan apa saja kapan saja.

"Eh? Rheas tidak mengenalku?"

Hah?

"Namaku Aisha," lanjut si gadis penyihir pelan-pelan, tampak mengharapkan Rheas menyela di antara kalimatnya yang sengaja dipenggal. "Aisha. Tidak ingat?"

Rheas tidak tahan dengan tatapan intens Riori yang terasa menusuk-nusuknya dari sisi belakang, tatapan yang seakan menyalahkan dirinya teramat jahat karena begitu mudah melupakan seseorang—sehingga dirinya menyela, "Klan. Apa nama klan penyihirmu ini?"

Si gadis penyihir mengerjap dengan binar polos berharap. "Klan Penyihir Nairukai. Aisha Nairukai!"

Klan Penyihir Nairukai.

Mau bagaimanapun juga, Rheas mengingatnya. Pantas saja mengapa taring dari senyum itu tampak berkilat di matanya. Pantas saja mengapa model topi runcing bertepi lebar yang dikenakan semua sosok lalu-lalang itu familier akan susunan bulu-bulu burungnya. Pantas saja mengapa netra sewarna gumpalan awan mendung itu teramat menyedotnya.

Senyum bertaring itu pernah dijumpainya, bersama dengan sebuah uluran tangan berjemari lentik yang mengusap sebelah pipinya dengan lembut.

Topi itu pernah ditemukannya di atas kepala seseorang yang berdiri di sisinya, sama-sama tengah menghadap seseorang lain di hadapan yang menjulang dengan mahkota berpermata bias bagai pelangi.

Netra mendung itu pernah menenggelamkannya dalam tatap hangat, tatap canda, tatap bergaris tangis, tatap duka, dan banyak lainnya—yang rupanya hanyalah satu tatap; kepalsuan.

Satu tepukan ringan di sebelah bahu membuat Rheas tersentak dan menoleh. Dilihatnya Arthkrai di sisi, mengulas senyum dengan bibir gemetar, karena air mata sekali lagi terburai menggulir jejak di pipinya. Kali ini, Rheas sedang tidak tahu mengapa Arthkrai menangis. Hanya saja, dirinya tersadar akan rona pucat si pangeran yang semakin terkuras.

"Aisha," panggil Rheas. "Terima kasih sudah menyelamatkan kami, tetapi maaf, kami harus segera pergi. Kedua temanku sedang terluka—"

"Eh? Aku membawamu dan teman-temanmu kemari untuk diobati, kok," sela Aisha cepat-cepat. "Itu niatku sejak awal, Rheas. Ayo, ayo, ke arah sini!"

Rheas menggulir tatapannya bergantian pada isyarat undangan tangan Aisha di depan, juga pada Arthkrai yang berona pucat di sisinya serta Riori yang pijakannya tidak baik-baik saja.

QuietUsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang