|| Sembilan []

17 7 3
                                    

Rheas mendongak, tanpa menghentikan kedua tangannya yang bersibuk membelitkan perban di pergelangan tangan kanan Riori. "Apa yang baru saja kau katakan?"

Setetes air mata telah meluncur di wajah Arthkrai yang penuh luka tak kasat mata. "Maaf. Ini semua salahku."

Riori seketika memotong, "Hei, hei, apa maksudmu?"

Hm. Pemuda bermata merah itu terdengar berusaha keras menyembunyikan panik bercampur cemas baik di suara maupun air mukanya. Rheas tak yakin Riori ternilai berhasil untuk itu, khususnya ketika berhadapan dengan air mata Arthkrai.

Sementara dirinya menunduk kembali untuk memperbaiki belitannya yang melenceng.

"Aku...," Arthkrai menjeda untuk mengumpulkan suara tanpa isak air mata, dengan tarikan napas yang terdengar menyakitkan dan gemeretak seakan dia berusaha menggigit rahangnya sendiri. "Hari itu. Saat Kak Huiricius memanggil kita ... itu, awal dari segalanya ... seharusnya aku bisa bertahan dengan lebih baik. Andai ... andai saja aku bisa, kalian tidak akan terluka lagi dan lagi seperti ini...."

Rheas membungkam Riori yang hendak membuka suara dengan mengencangkan perban yang sedang dibelitkannya.

"Ini bukan salah siapa-siapa."

Hari itu.

"Hah ... aku sudah mengatakannya sedari awal, tidak apa-apa kalau kau ternyata membocorkan kejujuran satu itu. Kebenaran bahwa Arkiv bisa menuliskan masa depan. Memang lebih baik kalau kau berhasil bertahan dari efek artefak sihir Huiricius dan tidak mengatakannya. Tetapi, dengan kau mengatakannya pun, kita tetap punya keuntungan dan keunggulan sendiri."

Rheas yang sudah memikirkan segalanya, memutuskan ada sebuah titik krusial yang pasti akan terjadi di pertemuan mereka dengan Huiricius; apakah kejujuran bahwa Arkiv bisa menuliskan masa depan akan diketahui Huiricius?

Tentu, dirinya pun banyak bertaruh. Dalam suratnya, secara gamblang dan terang-terangan seakan bangga, Huiricius menyebut 'Arkiv' seketika. Nama dari artefak sihir Arthkrai. Mudah saja memikirkan bahwa ada seseorang kepercayaan Huiricius yang sejenis Riori untuk memata-matai sehingga kebangkitan sihir Arthkrai diketahui olehnya. Bagaimana dia tahu nama artefak sihir Arthkrai, bisa saja dia sudah melihat cukup dekat judul di sampul buku itu, atau mencuri dengar pembicaraan ketiganya. Apa pun itu, hanya karena Huiricius tahu nama 'Arkiv' tidak berarti dia sudah tahu segalanya.

Jadi, sebenarnya, kalau kejujuran itu diketahui Huiricius, itu justru bisa terhitung lebih baik di satu sisi. Pertaruhannya tidak akan diperpanjang dan berisiko membuka banyak kecacatan kebohongan.

Satu kejujuran itu menjadi titik krusial karena dirinya tahu Huiricius pasti akan memanfaatkan artefak sihirnya di pertemuan. Artefak sihir miliknya yang berwujud sekeping permata seukuran ibu jari dan berwarna bak refleksi pelangi. Huiricius selalu memasangkan permata itu dengan sesuatu agar mengurangi risiko dicuri serta mudah dibawa, yang paling sering adalah dengan menjadikannya mata kalung. Kemudian, berkebalikan dengan ukurannya yang kecil, permata itu menyimpan energi sihir yang amat besar dan mengerikan.

Rheas amat mengetahuinya.

Karena pertemuan di hari itu bukanlah kali pertama dirinya melihat permata itu.

Terutama, ketika bagaimana permata itu memangsa seseorang yang ada di sisinya. Dengan energi sihir permata itu yang meluap-luap, bertumpah ruah merupa hawa ancaman yang teramat mengerikan. Menjadi sebentuk monster teror. Mengecam dalam diam. Hanya kepada target yang diinginkan, ketakutan diburu oleh tekanan energi sihirnya.

Karena ketakutan itulah, si korban akan mengatakan hal yang sedang paling disembunyikan.

"Wajar kau tidak terlalu mampu bertahan dari tekanan artefak sihir Huiricius. Kebangkitan sihirmu bahkan terjadi baru-baru ini, dan bandingkan dengan Huiricius."

QuietUsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang