|| Dua Puluh Tiga []

11 5 15
                                    

Dunia seakan mengembang dan menyusut bagi Rheas. Membuatnya terombang-ambing sesaat, sebelum tanah keras menangkap punggungnya yang terjungkal jatuh. Pandangannya berdenyar mengindra kabut sihir yang berkelindan, menutup segaris celah dari sihir yang merobek di tengah-tengah udara. Seperti jarum yang menjahit sebuah lubang tanpa menyisakan bekas.

Rheas memaksakan diri untuk menarik satu napas panjang. Ketika mengerang di balik gertak rahang demi bergerak bangkit, Rheas merasakan tangannya membentur sesuatu di pangkuannya sendiri. Menundukkan pandangan, dan menemukannya.

Arkiv.

Seketika, dirinya menelan segenap kenyataan yang baru terjadi. Riori menghilang bersama Arkiv. Arthkrai berhasil memanggil Arkiv kembali. Pasukan pengejar datang muncul dalam jumlah besar dan mengepung. Rheas hendak melindungi Arthkrai, tetapi Arthkrai mengempaskannya ke portal sihir bersama Arkiv—

Hei. Apa-apaan?

Sesuatu yang memuakkan terasa meluap-luap di dalam dirinya. Bergejolak. Membuat berat napasnya yang tertahan, membuat gemetar menjalar ke ujung tangan dan kakinya, membuat pening berdenging nyaring di balik tengkoraknya—

Rheas tak percaya ini. Dirinya tak percaya bahwa trauma itu bisa kembali terulangi.

Kenapa?

Rheas tidak sudi.

Kenapa dirinya yang diprioritaskan selamat, lagi-lagi?

Ah. Dirinya tidak boleh semakin memuaskan trauma itu tertawa-tawa. Diamlah. Bungkam. Redam gejolak memuakkan itu. Lantas sayup-sayup, kabut sihir yang mengalir masih terasa membawa jejak dari bentrok sihir dengan barisan pasukan pengejar tadi. Jadi, portal sihir Arthkrai menjatuhkannya tak terlalu jauh. Tentu, pasti terpisah jarak, tetapi masih bisa dilacak Rheas.

Namun, sekali lagi, tangannya membentur Arkiv di pangkuan.

Rheas tertegun.

Mana yang harus dilakukannya?

Apakah kembali demi melindungi Arthkrai, atau beralih mencari Riori?

Rheas tahu, biasanya, dirinya akan memilih opsi pertama—dalam rasa antara dengan mudahnya dan terpaksa.

Namun, entah sejak kapan, situasi ini tidak lagi terasa seperti biasanya. Ada sesuatu yang berubah, sehingga dirinya justru membisikkan senandung tipis, yang membentuk selapis tabir penyembunyi untuk Arkiv yang dibawanya dalam dekap seraya bangkit.

Ah. Entahlah.

Rheas menjejaki rerumputan, menelan segenap muak yang dia rasakan, dan mulai membedah setiap kabut sihir yang berseliweran. Warna-warni itu ditelaahnya teliti, mencari-cari di mana kabut yang membawa aura sihir Riori. Meski sihir hitam pemuda bermata merah itu mulai terkuras karena kekang perjanjiannya telah lepas, keberadaan Riori masih satu dengan itu, dan Rheas harus menemukannya.

Karena masalah yang dihadapi Riori adalah urgensi.

Lain dengan Arthkrai yang jelas melawan pasukan pengejar dengan incaran Arkiv, Rheas buta dengan apa yang membuat Riori harus menghilang bersama Arkiv saat dirinya dan Arthkrai masih tertidur.

Persepsi yang bisa dipikirkan terlalu luas, risiko ketidaktahuan terlalu berbahaya. Meski begitu pula dengan risiko melepas Arthkrai sendirian menghadapi pasukan pengejar—segalanya akan jungkir balik jika si pangeran alias satu-satunya yang bisa mengendalikan Arkiv sampai dirantai.

Ah.

Akhirnya, Rheas menemukan kabut sihir dengan aura Riori yang familier. Samar dan seakan-akan bercabang, tetapi dirinya tak akan salah mengenali. Larinya akan menjadi berarti mulai dari sini.

QuietUsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang