"Sudah selesai, Nona Rheas?" sambut sang Kapten seketika Rheas memimpin bersejajar dengan Arthkrai dan Riori kembali ke tempat semula.
Rheas mendebas. Sulit mendengarkan sinis pun sarkas di setiap nada bicara sang Kapten. Itu membuatnya semakin merepotkan. Yah. Dirinya tidak peduli. Kecuali untuk diam-diam memikirkan seberapa lama waktu yang tadi dimanipulasi kubah sihirnya. Pun, apakah di balik ekspresi wajah yang tidak terlihat—secara harfiah—itu, sang Kapten telah mengetahui rencananya? Apakah dia kini tengah berpura-pura? Bersiap tertawa keras, menertawai mereka, pada akhirnya?
Ah. Memikirkan banyak prediksi yang belum tentu terjadi macam ini sama sekali tak seperti dirinya. "Ya, Kapten. Silakan."
Rheas berhenti selangkah di belakang Arthkrai. Mendorong punggung si pangeran yang—berlagak—tampak gamang hingga tersandung ke depan. Arkiv yang tertutup rapi ada di genggaman kedua tangannya. Sang Kapten berdiri dengan khidmat, menanti. Meski tak berwajah, siapa pun tahu dia sedang mengawasi. Langkah demi langkah Arthkrai dan sedikit demi sedikit jemarinya yang menyodorkan Arkiv. Rheas yang berusaha agar tidak menahan napas. Riori yang menyejajari dengan ekspresi keras hati.
Hingga akhirnya—
Arkiv pun berpindah tangan dari Arkiv kepada sang Kapten.
"Kumohon. Jangan lakukan apa pun pada Rheas dan Riori."
Sang Kapten tersenyum. Tak berwajah, tetapi kedua bahunya mengendur kala mengampu penuh Arkiv. Angin berbisik bahwa senjata-senjata para prajurit bayangan berdesing turun nan lirih. Rheas diam menghela napas—berpura-pura—lega, pun Riori yang memejamkan mata.
"Tentu. Terima kasih banyak, Pangeran Arthkrai."
Kemudian, Riori meledak merupa sesosok bayangan.
"Kalau begitu, waktunya kita bertaruh tanpa memberikan satu pun pengorbanan diri."
Ini dia.
Rheas tahu ini akan dimulai dalam sekejap mata dan berakhir dalam sekejap mata pula. Tidak peduli seberapa banyak waktu yang disenjangkannya tadi demi merancang strategi, pada akhirnya, semua pertaruhan bergantung pada eksekusi.
Sekali entak, satu langkah maju mengempas jarak sekejap mata. Sehingga Riori tiba seketika di hadapan sang Kapten, tiada lupa akan memancangkan tatapan. Pemuda bermata merah itu memanjangkan tangan kanan secepat kilat, merentangkan jari-jemari pada satu-satunya hal—menggapai Arkiv dari genggaman pria di hadapannya.
Langkah pertama. Riori tidak boleh mati seketika, maka serangan kejutan akan menjadi pembuka. Kejutan saja tidak cukup. Mereka harus memastikan sang Kapten punya alasan untuk tidak menggunting tali sihir Riori seketika.
Alasan itu adalah Arkiv. Sang Kapten tidak akan membiarkan Riori bermain barang sedetik entah untuk apa dengan objek yang lebih penting dari nyawanya.
Jadi, sang Kapten berkelit gesit. Tensi adrenalin menanjak, Riori tidak menyia-nyiakannya. Dia menapak seusai luput, mengejar didampingi pedang berbilah kelam terhunus di tangan kiri.
Mendadak, Rheas merasakan kedua tangannya dibekuk ke belakang punggung dengan kabut sihir yang terasa meracuni. Sebilah pedang menempel dingin di sisi lehernya. Meski tertunduk paksa di bawah sakit yang membekuk, dirinya bisa melihat dari sudut mata bahwa Arthkrai pun sudah dibekuk—pangeran itu juga dibekap, mengantisipasi senandungnya, mungkin.
Tepat sesuai dugaan.
Riori terpaku berhenti dari derapnya begitu dia menyadari dirinya dan Arthkrai telah disandera.
Sang Kapten melangkah mundur, perlahan seakan mengejek, menyejajari posisi Rheas dan Arthkrai yang dibekuk masing-masing dua prajurit bayangan yang tadi mengawalnya. Tangannya menggoyangkan Arkiv dalam genggaman erat. "Ini selesai, Riori—"
KAMU SEDANG MEMBACA
QuietUs
FantasySatu kebangkitan sihir memanggil sebuah buku bernama Arkiv yang menuliskan rahasia masa depan, dan ada tiga yang harus menjaganya diam; Arthkrai, sang pangeran yang terlalu mudah mengurai air mata. Dia yang memanggil malapetaka itu, bisakah tegar hi...