|| Sepuluh []

21 7 4
                                    

Hari demi hari, Rheas mempelajari hal demi hal mengenai Arkiv.

Dirinya meminta Arthkrai selalu bercerita tentang artefak sihirnya itu di setiap waktu luang, atau ketika ada sesuatu baru yang dia temui atau sadari. Agar tak terkesan membebani si pangeran, dirinya menambahkan bahwa itu sama saja seperti membuatnya menjadi topik pembicaraan. Dibawa santai, mengalirlah seperti mereka mengobrol biasa.

Yah. Taktik manis itu berhasil membuka hati Arthkrai—tanpa Riori yang memelototinya lagi dengan tuduhan dirinya tak memikirkan perasaan Arthkrai. Oh. Kadang pemuda bermata merah itu ada, kadang tidak. Rheas tak peduli. Biarlah mengalir saja, ada ya ada, tidak ya tidak. Dua pemuda itu punya bagian masing-masing untuk diceritakan kepada Rheas yang bertugas menyimpulkan.

Rheas memulai dari nama Arkiv—yang sudah terpatri ada sejak terpanggil. Arthkrai mengaku buku itu tidak membicarakan apa pun tentang asal-usul namanya. Lalu, huruf yang terukir elok di sampulnya adalah aksara biasa, aksara paling umum di sepenjuru benua. Desain warna dasarnya yang kelam bak sepotong langit malam serta lembar-lembar kertas secerah kupasan lembar purnama emas di dalamnya yang berpendar magis pun tiada petunjuk.

Setiap pembicaraan dengan Arthkrai memperbanyak catatan yang ditulis Rheas.

Namun, pendapat Rheas tidak berubah tentangnya—bahwa Arkiv itu misterius.

Juga harus dilenyapkan bagaimanapun juga.

Sementara dari segala catatan Rheas mengenai Arkiv, hampir mirip dengan yang dikatakan Arthkrai mengenai Arkiv yang jarang-jarang berbicara dengannya di waktu tanpa penanda, dirinya menemukan satu hal krusial ... yang tidak disangkanya akan terjadi lebih teramat cepat dari yang bisa diduganya.

Satu hal krusial.

Bahwa Arkiv tidak bisa senantiasa menuliskan masa depan kapan saja.

***

Gerakan pena di tangan Rheas yang menulis kata demi kata di atas garis-garis buku terhenti ketika dirinya merasakan satu tepukan di sebelah pundak.

Tangannya menyangkutkan pena di antara jemari dan menutup buku jurnalnya di atas meja, menoleh dengan lagak malas, menemukan Riori yang tepat selangkah di belakangnya dan masih bersisa residu bayang-bayang dari langkah kemunculannya yang nihil suara.

"Riori." Rheas mengerjap datar. "Apa?"

Pemuda bermata merah itu sedikit menundukkan diri untuk menyejajarkan suara dengan posisi Rheas yang duduk di kursi kayu bersandaran tinggi. Pelan, tetapi tandas dan lugas. "Kita harus pergi. Sekarang juga."

"Kenapa?"

Saat itulah Riori terhasut ragu sejenak yang begitu samar—yang, kalau itu Arthkrai, bisa dibayangkan Rheas sudah tergagap tanpa suara dengan tatapan mata berlarian—tetapi Riori jauh lebih baik menyembunyikannya sembari menarik napas tipis.

"Aku ... punya firasat buruk. Rheas, kumohon."

Dirinya bergeming. Memohon saja tak akan menggerakkannya. Pemuda itu seharusnya tahu. Sorot netra merahnya kaku oleh sesuatu, bisu sekaligus tampak mempunyai segunung sesuatu yang ingin dikatakan tetapi juga ditahan mati-matian. Rheas menepis dramatisasi pemuda itu. "Riori. Beri tahu aku kalau kau tahu sesuatu. Jangan hanya membisu di situ."

"Tolong. Pertama-tama kita pergi dulu dari sini, dan aku akan memberi tahu segala yang kau mau, Rheas."

"Pertama-tama beri tahu aku dan aku akan mengikutimu pergi ke mana pun yang kau mau."

Dirinya tidak sedang dalam suasana hati yang bagus untuk ditarik-tarik emosinya.

Tampaknya, begitu juga dengan Riori.

QuietUsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang