|| Lima []

25 7 11
                                    

Pertama-tama, sejujurnya, Rheas tidak peduli pada pesta.

Tidak peduli. Sama sekali. Tak membenci juga tak menyukai. Tak menghindari atau menanti-nanti. Hanya akan datang ketika dirinya perlu datang—menghadiri, mengikuti, lalu pulang tanpa basa-basi ketika selesai. Pun, apa yang dilakukannya tergantung akan apa yang menjadi tujuannya perlu mendatangi pesta itu. Jika harus menjadi pengamat, dia akan bersikap selayaknya demi tak terlihat. Jika harus mencari informasi, dia akan beratensi menajamkan telinga. Jika harus mempererat koneksi, dia akan menunda pulang demi berbincang panjang.

Rheas benar-benar melakukannya. Harus. Sedari awal, semata-mata untuk bertahan hidup. Demi mencegah seorang pun dari keluarganya terbunuh. Demi menjaga rahasia yang dianggap hina. Demi mengawal keseimbangan dunia.

Mudahnya, begitulah takdir Rheas.

Itu tak berubah setelah segala yang menjadi alasannya rela melakukan apa saja hancur berkeping-keping. Selama dirinya masih bernapas, masih hidup, maka dia harus bertahan. Selama masih hidup, segalanya belumlah berakhir.

Rheas tidak peduli.

Kini, selain pada tujuannya datang sesuai undangan pesta ini.

Kedua matanya terbuka. Menatap gemerlap lampu-lampu kaca yang pendar cahaya keemasannya saling bertabrakan di lantai pualam. Memerhatikan lalu-lalang sosok demi sosok berbalut kostum formal sebagaimana para bangsawan menghadiri pesta yang digelar oleh istana kerajaan. Ada meja-meja yang ditata rapi di sisi, penuh oleh makanan yang ditata tanpa cela beserta botol-botol minuman anggur kelas tinggi dan gelas-gelas jernihnya. Lantai pualam di tengah-tengah tampak bersinar paling luas. Jelas, sebentar lagi, lantai di situ akan dipenuhi kaki-kaki yang menarikan dansa. Hm, kalau tak salah ingat, di bawah tangga melingkar yang di sebelah kiri itulah barisan pemain musik akan memainkan iringan lagu dansa. Entah tema apa yang akan dimainkan untuk malam ini.

“Apakah langit malamnya indah?”

Sebuah suara bertanya sembari mendekatinya dari samping dengan langkah-langkah teratur. Rheas memang sengaja menepikan diri ke tepi serambi, di luar ruangan berlantai pualam nan bergemerlap emas itu, selagi pesta belum dimulai secara resmi. Karena tujuannya ada di sini bukan untuk bersenang-senang di pesta, dirinya berhak menghemat tenaga dengan menyendiri. Sebagian besar tamu pesta jauh berkebalikan dengannya, maka sedikit saja orang-orang yang mau menyendiri setelah repot-repot merias diri menghadiri pesta ini. Jika dirinya disapa lebih dulu, kemungkinannya mengerucut lagi.

Hah. Tidak perlu repot-repot menyusun deduksi macam itu pun, Rheas sudah tahu siapa gerangan yang menghampirinya. Karena dirinya sudah terlalu mengenal suara itu. “Riori.”

“Oh, ya, di mana Arthkrai?” tanya Riori sembari menyejajari di sisi. Melepas pandang ke langit malam, mungkin memutuskan lebih baik dia menemukan jawaban pertanyaan pertamanya sendiri.

Rheas berdesah. “Dari tadi aku mencari dan mengawasi di mana dia, sampai kau muncul.”

“Oh!” Riori menoleh, tersenyum lebar menunjuk dirinya sendiri. “Jangan-jangan penampilanku malam ini teramat memukau hingga kau hilang fokus, ya?”

Rheas mengerjap. Pemuda itu tampak bangga merujuk pada penampilannya yang berbeda. Yah. Itu wajar saja, lagipula Rheas-lah yang selalu mengingatkannya dan Arthkrai untuk menjadi formal selama semalam demi pesta kerajaan. Semata-mata karena dirinya ogah kalau kedua pemuda itu membawa masalah dengan penampilan lancang di pesta kehormatan nan mewah. Nah, itu akan merepotkan. Beruntungnya, sampai sekarang ini, insiden merepotkan itu tak pernah terjadi berkat dirinya yang selalu berhasil menahan diri dari menjadi tidak peduli.

Riori menjadi teramat lain dengan penampilannya di hari-hari biasa. Tak ada lagi setelan kusamnya yang kelam sewarna kamuflase yang sekadar mementingkan resistensi dan fleksibilitas, juga jubahnya yang berkibar panjang menyembunyikan entah apa saja di baliknya. Di sini, dia mengenakan setelan berkerah tegak kelabu gelap dirangkap jubah formal putih sepanjang bawah lutut dan berlengan lipat. Jubah itu tersemat rapi oleh kancing-kancing logam yang menahannya tepat di pangkal bahu. Ada ikat pinggang yang menahan agar jubahnya tidak tersibak juga. Celananya mulus tanpa kusut, jauh dari lumpur dan carut-marut reranting tajam, pun sepatunya yang berleher selutut dengan garis-garis perak menyelingi, bukannya lumpur kering yang menghiasi. Ah, benar juga. Rambut hitamnya ditata berbeda—poni panjangnya yang biasa mengurung dahi dialihkan ke satu sisi, sementara satu sisi lagi disibak jauh ke belakang telinga. Dilihat-lihat lagi, tatanan rambut berlapis ramuan licin itu membuat mata merahnya jadi lebih menyala.

Dulu, pertama kali melihat Riori tampil bersetelan rapi macam ini, Rheas sampai lupa bahwa dirinya sendiri yang membantu pemuda itu menata formalitasnya.

“Mungkin begitulah bagi gadis-gadis lain sampai mereka menyadari pita di lehermu,” kata Rheas, menuding pita berwarna hitam-putih yang terjepit kancing di kerah Riori dan tersimpul rapi ke belakang tengkuk. “Hm. Kau sengaja mengikatnya di situ agar tersembunyi?”

Riori mengangkat bahu, mengelak main-main, “Aku hanya mencoba model yang sama sepertimu.”

Rheas mendebas tak peduli. Dirinya sudah terbiasa.

Pita dengan warna hitam di satu sisi dan putih di sisi lain.

Itu adalah aksesori yang wajib dikenakan kaum seperti Riori dan dirinya sendiri, di setiap acara resmi kerajaan. Sebagai penanda. Supaya mudah dikenali demi dihindari.

“Ah, apa kau tidak kedinginan, Rheas?” celetuk Riori.

Rheas tahu apa yang dimaksud pemuda itu, lantas menoleh pada tengkuknya yang terbuka sampai tulang selangka. Gaun yang dikenakannya berwarna biru kelam, sekilas sehitam langit malam, dengan model kerah menutup di depan dan lengan yang sedikit menggembung di potongan siku, lalu mencetak pas selanjutnya sampai batas pergelangan tangan. Itu gaun yang hanya satu lapis, dengan bawahan rapat yang panjangnya menyeret lantai.

Karena ini satu-satunya gaun resmi yang dia miliki memenuhi kriteria formalitas untuk seorang terbuang, Rheas tidak akan terlalu enggan mengenakannya andai bagian punggungnya tidak berlubang tanpa alasan, juga bawahannya tidak teramat rapat menyulitkannya bergerak.

“Aku beku.”

“Ah, dasar, mau pakai jubahku? Aku bisa melepas kancingnya di sini,”

Rheas mencegah, “Jangan. Tidak usah. Aku tidak apa. Jubahmu juga tidak cocok untuk gaunku. Aku tidak boleh pakai apa pun yang menyampir di bahu.”

“Kau menggunakan terlalu banyak kata tidak, aku benar-benar ditolak—hei! pantangan itu khusus untuk yang laki-laki, bukan? Perempuan dari kaum terbuang cuma tidak boleh pakai gaun berlapis-lapis dan bawahan seperti kipas yang konon khas bangsawan elit saja. Tidak usah beralasan kalau kau lupa bawa selendang.”

Yah. Bahkan seorang Rheas bisa melupakan sehelai selendang. Saat itulah, mata tajamnya menangkap sosok baru di aula pesta. Mungkin dia hanya satu dari sekian sosok berselubung kostum bangsawan yang mewahnya serupa, tetapi untuk Rheas yang sudah terlalu mengenali dan sedari tadi memang mencari-cari satu sosok itu, dia tampak menyeruak jelas dari kerumunan.

“Ah, Arthkrai.”

Riori pun menyadari, tersenyum lebar. “Kalau begitu, ayo. Jangan membuat Tuan Pangeran kita bisa menunggu terlalu lama.”

Membiarkan pemuda itu memimpin, Rheas melangkah mengikuti. Memasuki gemerlap aula utama yang sepertinya telah terisi penuh dua kali lipat dari sebelumnya. Dia dan Riori menyebrangi lantai dansa, disadari oleh Athkrai yang seketika berwajah cerah, lalu sampai di sisinya yang sepi.

Sebagaimana Riori yang berubah drastis penampilannya demi formalitas, Arthkrai pun sama—bedanya, bukan Rheas yang repot-repot menata penampilannya, dia dijemput kereta kuda kerajaan untuk berangkat ke istana secara terpisah. Pangeran itu mengenakan setelan khas bangsawan setinggi keturunan langsung kerajaan yang membuatnya ... yah, terlihat seperti pangeran. Setelannya putih dari baju hingga sepatu, berbordir sulaman warna emas yang barangkali saja terpintal dari emas asli juga. Seperti yang diduga, tak ada sampiran jubah atau apa pun yang mengukung bahu Arthkrai. Jubah di bahu bermakna semacam simbol harga diri tak tersentuh khas bangsawan.

Jadi, Arthkrai masih tak diterima sebagai keluarga kerajaan, sampai sekarang.

Rheas tidak peduli, tetapi—hahh, betapa kekanakkan.

“Rheas, Riori!” sapa Arthkrai kentara tanpa menyembunyikan rasa leganya.

“Selamat malam, Pangeran Arthkrai,” sahut Riori tersenyum lebar.

Rheas membuka-tutupkan kelima jemari kanannya. “Arthkrai.”

Lalu, melodi orkesta musik mulai mengalun. Bagai mempertegas aba-aba, sang pangeran tersenyum menyambut dengan suka cita. “Mari mulai menikmati pesta, Rheas, Riori!”



***


Pesta ini, Rheas tidak peduli. Kecuali untuk satu-satunya tujuan yang tak pernah berbeda dari sebelum-sebelumnya.

Dirinya sudah menyingkir dari gemerlap pesta di aula dansa. Pamit tanpa sembunyi-sembunyi dan mendapat janji Riori untuk menjaga Arthkrai baik-baik selagi dirinya harus mengurus satu yang lain, juga mendapat harap-harap cemas Arthkrai agar dirinya selamat.

Langkah kakinya yang pendek-pendek karena kungkungan sempit bawahan gaunnya menyusuri lorong yang sepi ketika semua orang berkumpul seperti segerombol semut di balairung pesta.

Rheas menghitung pintu demi pintu yang diselingi lukisan di sepanjang lorong. Lalu berhenti di hitungan kesebelas. Dia mengangkat buku-buku jari tangan kanan, mengetukkannya satu kali dengan gema kentara.

Tanpa menunggu jawaban, gadis itu membuka pintu dan memasuki ruangan yang ditandainya dengan pasti setelah memastikan akan nihilnya siapapun di sepanjang lorong.

Rheas menutup pintu. Berbalik, menyilangkan kaki dan menjumput sedikit tepi gaunnya, untuk langsung menunduk pada satu sosok yang duduk di atas sebuah kursi berukir mewah di hadapannya.

“Selamat malam, Yang Mulia.”

Itu memang bukan kursi singgasana—percuma kalau kursi kebesaran diletakkan di sebuah ruangan pertemuan rahasia—tetapi itu tetaplah kursi yang sama mewah lagi angkuhnya. Apalagi, karena yang mendudukinya tidaklah berbeda.

Dia adalah sang Raja.

Pemimpin tertinggi Kerajaan Furedeszil saat ini, Raja Ernaditus Furedeszil.
Dua prajurit bayangan tanpa wajah berdiri mengawal kedua sisi pria yang jelas sudah berusia itu dengan ketat. Seakan Rheas berminat mencari gara-gara di sini saja, di mana dirinya jelas tidak diuntungkan. Meski tidak terlalu paham perihal perpangkatan tingkat prajurit bayangan, jika mereka ditugaskan mengawal sang Raja, kemampuannya tak akan jatuh mengecewakan jika dibandingkan dengan Riori.

“Tanpa basa-basi, Penyihir.”

Ah, ya, tentu saja. Seperti biasa.

Rheas menarik napas.

“Laporan. Segalanya berjalan baik-baik saja, Yang Mulia. Latihan sihir Pangeran Arthkrai menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dapat diperkirakan kebangkitan sihirnya akan terjadi tanpa perlu menunggu terlalu lama lagi. Sekian, laporan selesai.”

Lantas dirinya bergeming dalam tunduk hormatnya. Menunggu tanpa memburu-buru. Yah. Kalaupun mau, mana bisa?

“Jadi, segalanya berjalan seperti biasa?”

Rheas mengangguk tanggap. “Ya, itu benar, Yang Mulia.”

Entah berapa tepatnya saat yang dinanti Rheas pun datang, ketika akhirnya suara berat nan berwibawa sang Raja menitahkan, “Baiklah. Pergi, Penyihir.”

Memainkan hormat dengan sikap yang tidak mengesankan terburu-buru, Rheas mengundurkan diri sebagaimana tadi dirinya memasuki sendiri ruang pertemuan rahasia ini.

“Baik. Terima kasih, saya pamit, Yang Mulia. Semoga mentari dan rembulan senantiasa menyinari cakrawala Kerajaan Furedeszil.”



***


Rheas membanting punggungnya ke dinding. Di pojok lorong yang remang, terkucil dari aula pesta, pula yang paling sepi dari sepanjang lorong yang memang sedang sunyi. Pojok di mana tidak ada seorang pun yang akan menemukannya. Bahkan, tidak Riori, tidak juga Arthkrai yang hanya tahu mereka sedang menanti dirinya kembali.

Jangan bercanda. Jangan bercanda.
Hei. Apa mereka kira Rheas tidak mendengarnya?

Napasnya menderu satu-satu. Kelima jemarinya membekap mulut dengan menyisakan celah-celah berongga. Tenang, tenanglah. Kakinya menekuk dan tubuhnya merosot. Duduk bersimpuh di lantai yang dingin. Sepi, sunyi, dan sendiri.

Jangan bercanda.

Apa-apaan itu?

Rheas mengingat kembali apa yang didengarnya sekian saat sebelum mengetukkan buku-buku jemarinya pada satu gema di pintu ruangan kesepakatan di mana dia selalu memberikan laporan mengenai Arthkrai di bawah tanggung jawabnya kepada sang Raja.

Dirinya mendengar suara-suara. Percakapan samar. Kata-kata. Sang Raja.

“Lupakan ancaman Gwanlian. Bukan Edermedar, aku akan mewariskan takhtaku kepada Huiricius.”

Jangan bercanda.

Edermedar adalah putra sulung permaisuri Raja Ernaditus. Pewaris takhta yang ditakdirkan. Mengapa tiba-tiba Raja justru memutuskan akan mengangkat Huiricius, putra dari seorang selirnya, untuk mewarisi takhta? Mengapa Gwanlian, kerajaan tetangga di seberang timur itu juga dibawa-bawa?

Entah keberuntungan ataukah kesialan gara-gara mendengar itu, Rheas seketika mematenkan keputusan untuk tidak memberitahukan kebangkitan sihir Arthkrai kepada Raja. Berkatnya, jantungnya serasa berhenti ketika Raja mengulangi untuk memastikan sekali lagi, karena paranoia menguasainya akan ketakutan jika saja kebohongannya terbongkar kala benar-benar baru terlontar.

Rheas tidak peduli.

Namun tidak untuk yang satu ini. Tidak setelah mengetahui aroma konflik nan harum yang mulai menguar di kerajaan ini. Dirinya membawa pulang satu kesimpulan dalam genggaman.

Artefak sihir milik Arthkrai harus dilenyapkan.

Secepatnya.

Sebelum dimanfaatkan akan sihirnya yang bisa menuliskan masa depan. []

QuietUsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang