|| Enam []

24 6 9
                                    

Rheas menyadari bahwa ini adalah paginya yang paling tidak biasa di wastu ini. Kejutan—dan dia pun benar menyadari bahwa dirinya sendirilah yang mencetuskannya menjadi tidak biasa.

Memajukan waktu sarapan pagi ini, adalah solusi terbaik yang dipilihnya—karena dia masih punya cukup akal sehat untuk tidak menggelar bahasan serius di tengah malam tepat seusai pulang dari pesta kerajaan yang menguras tenaga dan pikrian. Dirinya juga berhasil menahan diri untuk tidak memajukan waktu sarapan menjadi di dini hari. Yah. Untuk itu, baguslah alam bawah sadarnya peka akan tubuhnya yang amat tak tahan dengan hawa beku dini hari, sehingga membangunkannya di waktu menjelang fajar yang tepat tanpa hantu mimpi buruk.

Baik. Lupakan mimpi buruk. Sebelum kenyataan menjadi lebih buruk dari yang bisa dimimpikan.

“Jadi, ada apa?”

Rheas mengerling pada Riori, yang langsung buka suara seusai mendorong piring sarapannya yang kosong. Hm. Pemuda bermata merah itu memang cepat tanggap—meski dirinya tak bisa berharap dia juga bisa cepat tanggap untuk berhenti menguap.

Sementara Arthkrai ... saat Rheas menoleh sembari merapikan meja makan, pangeran itu sepertinya sudah sedari tadi memelototinya. Dia tampak berusaha keras untuk itu—menaruh atensi penuh—dengan jejak hitam di bawah kantung matanya. Membuat kedua matanya seperti gerhana berisi langit biru cerah yang dikelilingi awan mendung. Rheas bisa saja merasa bersalah dan kasihan kepadanya, tetapi inilah waktunya menjadi tidak peduli.

Karena ada hal yang lebih harus diberi peduli saat ini.

“Arthkrai.” Rheas memulai. “Panggillah artefak sihirmu.”

Mereka bertiga duduk mengelilingi meja makan berpotongan persegi persis, dengan taplak rajut berpola bunga lili emas. Di meja sisi kiri, Rheas mendapati Riori mendongak seketika—dirinya tahu prajurit bayangan satu itu mulai menduga apa-apa yang menjadi alasannya memajukan sarapan pagi ini. Di meja sisi kanan yang ditatap Rheas, Arthkrai terkesiap.

“Kau bisa memanggilnya meski tidak berada di ruang terbuka dengan alam, bukan?”

Tersadar, Arthkrai cepat-cepat mengangguk. “Kurasa ... aku bisa.”

“Kalau begitu panggillah.”

Kali ini, Arthkrai mengangguk satu kali dengan ekspreksi menyanggupi. Pastinya, dia memiliki sederet pertanyaan yang berlomptan di benaknya. Tetapi, inilah ketika Rheas bisa menyukai Arthkrai—ketika pangeran itu tahu kapan harus menahan diri untuk mempertanyakan atau menyela.

Arthkrai pun mulai bersenandung. Kedua tangannya terangkat, seakan menjadi bendera aba-aba bagi berkas-berkas cahaya emas yang mendahului siraman fajar untuk mulai bermunculan. Di seberang posisi duduk Arthkrai, Riori mendongak pada kepak-kepak energi sihir itu dengan binar kagum.

Tak jauh berbeda dari yang pertama kali dilihat Rheas, energi sihir itu dipandu oleh senandung Arthkrai hingga berpadu menjadi satu. Memancarkan pendar emas. Kemudian hinggap di sepasang telapak tangan Arthkrai yang terbuka dengan wujudnya yang mengipas sendiri lembar-lembarnya dengan taburan kerlip, sebelum menutup tanpa suara dengan tenang tepat berakhir menampakkan sampul depannya.

Jauh berbeda dari bagaimana biasanya dirinya akan bersikap, Rheas memerhatikan setiap rinci dari pemanggilan artefak sihir Arthkrai di depan matanya. Hm. Ya, itu benar-benar artefak sihir, sekali lagi dia semakin diyakinkan—langkah pertamanya memang harus memastikan, agar tak ada lubang yang menjebloskannya pada kesia-siaan di tengah jalan.

Proses pemanggilannya selesai lebih cepat dari saat pertama Rheas melihatnya kemarin. Meskipun, tak tampak perubahan metode dari senandung yang diterapkan Arthkrai. Tak ada cacat dengan perbandingan dari pemanggilan yang kemarin. Berarti, Arthkrai memang berkembang.

Dengan sendirinya, kalau boleh ditambahkan. Lagi-lagi, jelaslah apa alasan di balik mata panda si pangeran. Mudah membayangkan Arthkrai yang tidur terlalu larut demi berlatih pemanggilan artefak sihir di kamarnya.

Anehnya, di sudut mata, Rheas tidak mendapati Riori tampak hendak bertepuk tangan.

Yah. Apa pun itu.

Ah. Hampir terlewat. Rheas lekas mengangguk kepada Arthkrai yang menanti tanggapannya. Langkah awal yang bagus mencerahkan lega di wajah si pangeran sebelum dirinya memulai.

“Arthkrai.” Sekali lagi, Rheas memanggilnya. Sekaligus juga panggilan untuk Riori—yang beruntungnya tanggap menangkap isyarat bahwa ini bukanlah perbincangan di mana prajurit bayangan itu hanya menjadi lalat terbang. “Aku akan mulai bertanya tentang artefak sihirmu. Tenang, ini bukan apa-apa—“ Sial, dirinya payah menyusun kata-kata macam ini. “Hahh. Intinya, jawablah saja apa yang bisa kau jawab. Katakan tidak tahu kalau kau tidak tahu. Tolong, jangan berbohong. Aku akan memberitahumu mengapa aku perlu melakukan ini setelah selesai ... bisa dimengerti?”

“Tentu,” jawab Arthkrai. Ah, malah dia lebih cepat dari yang diperkirakan Rheas. “Ehm, aku akan membantu jika aku bisa melakukannya untukmu, Rheas.”

Baiklah.

Ingat apa prioritas untuk dipastikan, Rheas.

Menarik napas, dirinya pun memulai, “Dari mana kau menyimpulkan bahwa artefak sihirmu bisa menuliskan masa depan?”

Arthkrai sedikit terjengit, dan dia harus mengerjap-ngerjap gugup terlebih dulu sebelum menjawab, “Itu ... sebenarnya, karena Arkiv bicara di dalam kepalaku dan menjelaskan bahwa dia bisa menuliskan masa depan—ah, aku sungguh-sungguh! Percayalah, Rheas.”

Rheas mengangguk. “Arthkrai. Ya, aku percaya, tenang saja. Jadi, bisa kau jelaskan bagaimana tepatnya artefak sihirmu berbicara kepadamu?”

“Uh, rasanya seperti ada kata-kata yang muncul begitu saja di dalam kepalaku. Jadi sebenarnya, agak tidak tepat kalau disebut bicara. Dia hanya memunculkan kata-kata di dalam kepalaku, lalu seperti, benakku refleks membatinkannya dengan gema suara supaya tidak menghilang dan tersampaikan padaku.”

Jadi, sekarang sulit dicurigai buku itu punya kesadaran sendiri, ya. Lain dari telepati.

“Seberapa sering?”

Arthkrai menimbang-nimbang, “Emm, mungkin ... rasanya, tidak terlalu sering. Jarang, juga sekilas-sekilas saja, begitu.”

Lumayan aman, ternyata. Hapus kemungkinan elemen sihir hipnotis dan cuci otak.

Rheas mengetuk-ngetukkan jemarinya yang tidak memangku dagu di permukaan meja. Baiklah. Separuh kecemasannya mulai tergusur. Tidak perlu lagi basa-basi, dirinya bertanya, “Lalu, apa kau sudah tahu seberapa akurat penulisan masa depan artefak sihirmu?”

“Seberapa akuratnya...,” gumam Arthkrai, resah. “Cukup ... akurat. Uh, semacam, itu prediksi yang patut dipertimbangkan untuk dianggap akurat—eh, apa kau mengerti, Rheas?”

Kebingungan dalam menjelaskan untuk pertanyaan ini sudah masuk dugaan Rheas. “Nah. Bagaimana kau tahu dan memutuskan bahwa penulisan masa depan artefak sihirmu cukup akurat?”

“Kalau soal itu ... emm, aku ditunjukkan sebuah masa depan yang dituliskan Arkiv—“

“Masa depan macam apa?” sambar Rheas seketika, mendapati sahutan tadi tak terduga.

Arthkrai tergagap tanpa suara. Ragu-ragu, pandangan matanya berlarian. Bagi Rheas, itu wajar saja. Semoga tidak ada pantangan diam-diam bahwa Arthkrai tidak boleh memberitahukan masa depan itu pada siapapun. Ahh, kalaupun ada, semoga pangeran itu bisa mengatakannya saja daripada terus ragu-ragu seperti itu.

“Masa depan ... tentang kerajaan ini, Furedeszil, yang akan berperang dengan Kerajaan Gwanlian—“

Rheas terpaku.

Kata-kata Arthkrai masih berlanjut. Entah apa. Tiada terdengar. Gema dalam kepalanya hanya terus mengulang-ulang sebisik samar kalimat yang seharusnya tabu dia dengarkan dari lorong sunyi malam itu, di balik sebuah pintu yang jauh lebih baik tetap bisu.

“Lupakan ancaman Gwanlian. Bukan Edermedar, aku akan mewariskan takhtaku kepada Huiricius.”

Seketika itulah, kursi yang didudukinya terpelanting ke belakang karena dirinya tiba-tiba berdiri dengan kedua tangan bertumpu lebar-lebar di permukaan meja.

“Kita harus melenyapkan buku artefak sihir itu.”

QuietUsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang