|| Dua Puluh Lima []

12 5 16
                                    

Namun, Rheas tidak membutuhkannya.

Rheas berontak. Menggapaikan tangan ke atas, berusaha merobek ombak kabut putih yang hendak melarutkannya lebih dalam lagi. Seolah refleksi tadi dari satu orang yang hanya dikenali oleh dirinya di lain dimensi, belum cukup sama sekali.

Arkiv adalah cermin. Sebuah cermin yang memantulkan segalanya sebagaimana adanya.

Lantas apa?

Jangan bercanda.

Mengapa Rheas harus mengetahuinya?

"Agar kau bisa membuat keputusan."

Entah suara siapa atau apa, tetapi ada yang tanggap menjawabnya. Gerak tangannya yang mencegah diri tidak tenggelam menjadi semakin geram memberontak.

Lantas, mengapa Rheas harus menjadi yang memutuskan?

Jawabannya tidak bersuara.

Hah. Apakah pertanyaannya terlalu menyakitkan? Rheas bahkan merasa tubuhnya semakin ringan perlahan-lahan, mengapung lolos dari riak kabut putih yang hendak menelan.

"Ya. Agar menjawabnya, kau harus melihat pantulan cermin dari dirimu sendiri terlebih dulu. Kenali dirimu sebelum musuhmu."

Tunggu. Apa-apaan—?

Sudah terlambat bagi Rheas untuk menanggapi firasat yang memburuk di kepalanya. Dirinya tenggelam seketika tanpa aba-aba ke dalam selapis cermin lain.






***





Ah.

Rheas mengingatnya.

Rheas dipaksa mengingatnya.

Warna-warna dari ingatannya bagai terlukis di selembar kertas, menjadi panorama bertirai kabut putih, serta tertulis di atasnya kata demi kata yang bercerita.

Tanpa bisa memilih halaman yang diinginkan, dirinya hanya bisa merasakan.

Segenap kenangan.

Yang selama ini sengaja dirinya lupakan bukan tanpa alasan.






***






Jemari Rheas menelusuri selembar kertas yang halus. Teksturnya antik. Khas dari sebuah buku tua yang berharga. Ya, wajar saja buku semacam ini harus disimpan di lemari paling dalam perpustakaan kerajaan. Sayangnya, tidak semua orang mengetahui nilai asli buku ini, sehingga perawatan lemari buku di bagian ini agak kurang diperhatikan. Membuat dirinya menghela napas, kala jemari yang menelusuri halaman buku diganggu sensasi lembap nan lapuk.

Yah. Meski, dirinya tidak berada di posisi untuk mengkritisi.

Rheas menghirup udara yang dikelilingi aroma buku. Dingin ... tidak, ini sekadar sejuk saja, karena ada di bagian dalam yang memojok. Bahkan dirinya menghadap pada dinding buntu dari bagian terdalam ini. Dengan duduk bersandar sebuah kursi berpunggung rendah, kedua kaki menggantung sesekali digoyangkan, serta memangku sebuah buku tua di atas kedua tangan. Telinganya yang tajam hanya menangkap suasana sunyi nan damai.

Hm. Perpustakaan kerajaan memang tempat terbaik selagi menunggu sang Ibunda selesai dengan urusannya.

Selama dirinya menepati janji, untuk tidak menunjukkan diri pada siapa-siapa.

Tentu saja, itu hal mudah untuk dilakukannya di sini, sembari bersenang-senang sendiri dengan koleksi buku-buku ini.

Nah, mari mulai!

Kali ini, Rheas ingin beristirahat sejenak dari tema sihir. Mempelajari lebih tentang makhluk legenda yang paling sering didongengkan sang Ibunda dari buku ini, pasti menarik.

Ah. Betapa waktu seakan melayang di setiap jemarinya membalik halaman.

Juga ... Rheas mulai merasa kesepian.

Namun, dirinya tidak akan pernah sendirian, karena sang Ibunda selalu berkata begitu.

Bahwa sihir senantiasa ada di mana saja untuk menemani. Dirinya hanya perlu memanggil dan merasuki.

Rheas menarik napas tipis, menggoyangkan kaki untuk memulai tempo yang dipelajari. Mulailah napasnya diembus bersuara menjadi senandung yang lembut. Memantul-mantul di lemari buku, punggung-punggung buku tua, debu yang berbubuh di banyak sudut. Senandungnya sendiri terasa semakin mengalirkan kata-kata dari buku yang dibacanya. Energi sihir pun dirasakannya bermekaran mungil-mungil, seirama senandungnya yang sekadar bergumam. Kalau hanya gumam seperti ini saja, dirinya tidak akan memanggil siapa-siapa, bukan? Lagipula, setiap kemari, perpustakaan kerajaan memang selalu sepi peminat—

"Waah! Hebat!"

Eh?

Serta-merta, Rheas menolehkan kepala pada suara yang datang dari belakang. Sungguh, perpustakaan memang selalu sepi ... seharusnya. Rheas harus segera lari dan sembunyi sebelum siapa pun itu mencoba mengenali dirinya, tetapi, Rheas harus memastikan dulu siapa yang—

Di sana, berdiri di muka lorong lemari buku-buku tua, sesosok anak laki-laki berdiri menghadap kepadanya. Sosoknya seakan membawa cahaya untuk Rheas yang berada di sisi agak gelap berbayang. Bukan metafora, itu karena helai rambutnya berwarna pirang emas yang sempurna, sementara netranya berwarna biru jernih. Ditambah lagi, mata itu amat cerah berbinar-binar, seakan bintang berkelipan di dalamnya.

"Hebat! Sihirmu sangat indah! Bagaimana caramu melakukannya?"

Anak laki-laki itu mendekat dengan cepat, bahkan sebelum Rheas sempat mengerjap.

"Ah, ajarilah aku! Boleh aku tahu siapa namamu?"

Digempur kekaguman berbinar yang bertubi-tubi itu membuat Rheas kebingungan, sehingga mulutnya bergerak mengeja dengan sendirinya, "...Rheas."

Kemudian, anak laki-laki itu tersenyum begitu lebar, dengan binar yang semakin bertaburan alih-alih pudar. Membuat Rheas perlu waktu untuk menyadari bahwa pakaian yang dikenakannya jelas-jelas adalah setelan yang rapi dan berkualitas.

"Salam kenal, aku Huiricius! Hei, Rhis, ajari aku sihirmu, ya?"

QuietUsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang