Di sepersekian saat, Rheas menyadari kemunculan sepotong tangan yang menyela di antara tangannya dan tangan dirinya-yang-lain. Itu adalah sesaat yang sama sekali tidak terasa melambat. Hanya sekilas cepat.
Ah. Dirinya tidak akan sempat.
Sepotong tangan misterius itu menangkap Arkiv di buku-buku pertama jemarinya, tetapi hanya sampai di situ saja—karena Arkiv terentak mundur oleh tangan Rheas yang terbawa jatuh tubuhnya ke belakang.
Sosok dirinya yang lain—baiklah, sebut saja si penulis Arkiv, atau si penulis saja—adalah yang sempat bereaksi, dengan mendorong Rheas terjungkal ke belakang.
Satu-satunya refleks Rheas adalah melindungi Arkiv. Sehingga buku itu terdekap erat dalam kedua lengannya yang tersilang, sementara punggung Rheas mendarat dengan buruk di tanah. Sakit menjalar berdenyut-denyut sampai kepalanya, tetapi dirinya memaksakan diri untuk bangkit sembari memastikan jemari tidak akan lengah lagi menjaga Arkiv.
Saat itulah, Rheas melihat wujud dari sepotong tangan asing yang bisa-bisanya muncul begitu tiba-tiba. Itu benar-benar sepotong tangan manusia, dari selingkar portal kecil yang mengawang di udara, tampak terpotong hanya sedikit lebih dari pergelangan. Jemarinya mengatup, baru saja luput menggapai Arkiv sehingga berakhir merampas udara belaka.
Ada suara. Rheas berusaha menajamkan fokus demi mendengarkannya, sebab kabut putih dari sihir si penulis yang sempat membuat dunia serasa meluntur tadi masih melingkupi dirinya. Sesuatu yang berdesing ... dan berderik. Tajam. Logam? Suara itu berkelanjutan, seakan-akan ada yang saling berkaitan panjang—
"Awas!"
Kali ini, Rheas siap, bahkan tanpa peringatan si penulis. Kakinya sempat tersaruk di langkah pertama, tetapi dirinya berhasil menghindar tepat ketika tanah di tempatnya tadi merekah seperti dikuak setitik gempa dari dalam. Tanah telah retak dan pecah, seutas rantai berujung mata tombak setajam belati pun memelesat muncul dari sana.
Andai Rheas tidak menghindar tadi, tentulah perutnya akan terlubangi lesatan rantai itu yang bagaikan kilat tajam.
Tidak, belum saatnya percaya diri bahwa itu tidak akan terjadi. Suara-suara serupa tadi saling bersahutan mengusik telinga tajam Rheas yang memaksa pulih lebih lekas. Suara itu mewujud nyata dan kasat mata, bahwa rantai-rantai bermata tajam bak tombak itu bermunculan sekaligus dan mengejar dirinya.
Rheas menghindar dari semua lesat rantai yang mengincar. Rantai itu sealur dengan kabut sihir yang paling pekat di jangkauan sini—kabut sihir yang sesak nan kelam tetapi berkilau rumit—maka mudah saja dirinya tahu kemunculan setiap rantai itu. Menghindari setiap rantai yang muncul itulah hal yang sulit. Fisik Rheas tidak bisa dicela lemah, tetapi bagaimanapun juga, beradu stamina dengan waktu bukanlah kemampuannya.
Terutama, rantai-rantai ini tidak memberi Rheas jeda untuk memikirkan cara mengatasinya, bukan terus menghindarinya. Mengatur napas dan pijakan saja dirinya sudah hampir di ambang batas—pandangannya mulai berdenyar, kabut sihir merapat di sela debar dan kerjap, tentu untuk menanti celah demi merasuki dirinya.
Cepatlah. Rheas harus mendinginkan kepala, secepatnya. Bahkan Rheas tidak sempat memastikan bagaimana keadaan si penulis, dirinya dari dimensi lain yang entah kenapa berwujud setengah arwah itu.
Ah. Rheas melihat sekelebatan sosok yang baru dipikirkannya, berjarak darinya di antara rantai yang malang-melintang, dan—
"Lorutares...!"
Rheas mendengarnya berseru parau. Seruan yang meledak, meraung, penuh murka dan luka.
Seruan yang memanggil sebuah nama.
Hampir seketika, Rheas mendapati seluruh rantai yang saling bersilang bak jalinan benang laba-laba di sekitarnya menyerpih lenyap. Ada sihir dari kendali lain yang menimpanya. Energi sihir yang berpusat dari ... tunggu. Dirinya mengerjapkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
QuietUs
FantasySatu kebangkitan sihir memanggil sebuah buku bernama Arkiv yang menuliskan rahasia masa depan, dan ada tiga yang harus menjaganya diam; Arthkrai, sang pangeran yang terlalu mudah mengurai air mata. Dia yang memanggil malapetaka itu, bisakah tegar hi...