Dirinya berpikir tentang kutukan.
Di balik salah satu kelambu kegelapan, Rheas berderap. Terus, meski selagi merasa kepalanya teramat berat. Netranya yang tak jauh berbeda dari warna kegelapan mengunci satu sosok yang ada di balik sebaris tirai pohon berakar gantung.
Dirinya berpikir tentang masa depan.
Mata sosok itu membuka kepadanya. Menyala. Berkedut dan berdenyut seakan segulir bola mata raksasa itu sendiri saja adalah makhluk hidup. Kemudian, cambuk gelombang yang bercampur dengan kegelapan di sekitar ketika meleset sebab dirinya menghindar mulai mengejar.
Dirinya berpikir tentang kematian.
Seutas akar yang tertanam di tanah menyangkut derap Rheas, dan tiga cambuk kegelapan dari mata si monster tak melewatkan kesempatan untuk berputar mengepung. Dirinya tak berdaya akan waktu, tetapi tidak ada panik yang menyalip di antara debar jantungnya. Bergeming saja, lebar-lebar membuka mata pada marabahaya yang siap memangsanya.
Andai tidak ada embus angin yang mencuri waktu di antara dirinya dengan cambuk-cambuk itu untuk membentuk pelindung sihir serupa gulungan perban yang melayang-layang menyelimuti tanpa menyentuh tubuh Rheas.
Pelindung sihir itu hanya menahan serangan dengan percik-percik sihirnya yang terkikis pilu. Tidak masalah. Itu cukup, memberi Rheas waktu untuk mengubah pegangan pada belati tipis dan berputar menepis semua cambuk gelombang kegelapan dalam satu tebasan melingkar.
Rheas lanjut berderap, sembari melihat dari sudut mata, sesosok pemuda yang berpendar dengan sebuah buku yang terbuka lebar-lebar di tampaan kedua tangannya dan di bawah tatap netra lazuardinya.
Jika itu dinamakan kutukan—muasalnya serta yang memanggilnya tanpa tujuan, lantas mengapa dan bagaimana justru kutukan itu menyelamatkan?
Fokus mulai dikumpulkan dalam segenap dirinya. Baik dalam kepala, juga seketika di seluruh ujung jemari kaki dan tangan. Tidak semudah itu. Cambuk-cambuk gelombang kegelapan dari sebuah bola mata raksasa yang seolah mendendam menatapnya semakin lapar mengejar. Memecah lagi dan lagi fokusnya bagai taruhan paksa di atas setipis benang, apakah strategi atau tidak mati yang harus dirinya lakukan? Sampai, sambaran sebuah pedang berbilah kelam mengempas semua ancaman dengan auranya yang berdenyar.
Rheas menunduk dengan pijakan yang menguat, untuk melompat di antara dua sihir kelam yang saling bersaing. Memercayakan sesosok pemuda itu untuk menjadi tembok api tak tertandingi yang menjaga punggungnya, sebagaimana warna netra yang dia punya.
Jika itu dinamakan kutukan—korbannya serta yang menghidupinya tanpa pilihan, lantas mengapa dan bagaimana justru kutukan itu melindungi?
Dirinya berpikir, apakah Arkiv benar-benar sebuah buku terkutuk?
Arkiv masihlah misteri serta anomali bagi Rheas. Seperti, catatan yang meminta agar Arkiv dikembalikan kepada penulisnya supaya semua kekacauan ini berhenti—sejak kapan artefak sihir yang secara teori adalah manifestasi keoptimalan pengendalian sihir seorang manusia, adalah suatu objek yang pernah dibuat manusia?
Lantas, apa maksudnya? Catatan itu benar-benar sebuah catatan, terpatri di lembar di balik sampul belakang Arkiv. Bukan di salah satu lembar halaman Arkiv. Berarti, itu memang bukan sebuah masa depan, melainkan memang catatan untuk membatntu mereka belaka.
Rheas diselubungi pelindung sihir oleh Arthkrai. Juga dilindungi dengan asli oleh Riori.
Maka, kala dirinya membuka mata pada sebuah bola mata raksasa yang tepat ada di hadapan, Rheas memerintahkan segenap fokus dalam dirinya untuk berpusat menjadi satu. Bergumul menjadi setetes embun yang terjatuh bergema, demi merasuki energi sihir yang sedalam samudra di sekitarnya. Seketika, sepantik detik mengubah seluruh fokus Rheas menjadi sihir yang meledak serupa terpaan jaring laba-laba.
KAMU SEDANG MEMBACA
QuietUs
FantasySatu kebangkitan sihir memanggil sebuah buku bernama Arkiv yang menuliskan rahasia masa depan, dan ada tiga yang harus menjaganya diam; Arthkrai, sang pangeran yang terlalu mudah mengurai air mata. Dia yang memanggil malapetaka itu, bisakah tegar hi...