Kemarin malam, mimpi buruk merampas setidaknya separuh jatah waktu istirahat Rheas. Lantas, seolah berhasil membalas dendam, hari ini Rheas terbangun tepat waktu. Membuka mata dari mimpi hampa yang lelap, untuk melihat berkas cahaya jingga ambang fajar menjadi warna remang ruangan kamarnya. Bukan lagi biru yang beterbangan samar seperti kupu-kupu. Bukan lagi digelitiki hawa beku yang mengumumkan bahwa waktu masihlah dini hari.
Tentu, dingin tetap tak bisa dipungkiri—tetapi kalau hanya yang mencirikan pagi hari, dirinya bisa menghadapi tanpa cangkang selimutnya. Ditambah lagi, aroma pagi hari macam ini terasa membawa hasrat semangat. Bahkan meski tidak peduli, aroma itu tetap menerpa setiap kali pagi yang baru dimulai. Sementara, aroma dini hari nan beku seperti kemarin terasa lebih membawa melodi nan membuai. Menghanyutkan, mengingatkan ini masih waktu untuk beristirahat. Saat alam semesta masih belum mau semangat.
Yah, apa pun itu.
Jadi, Rheas kira harinya yang dimulai dari pagi tanpa terlalu cepat atau terlalu lambat ini akan sangat biasa saja. Alias baik-baik saja. Baiklah, mungkin dia harus mengakui dirinya sempat bersemangat bahwa hari ini akan menjadi salah satu harinya yang sempurna. Hari yang sempurna, yang sepanjang hari, benang emosi di hatinya tidak ditarik-tarik apa pun atau siapa pun. Hari di mana dirinya bisa tetap terus tidak peduli dengan damai.
Mudah saja, bukan?
Seharusnya.
Sampai Arthkrai dan Riori mengadangnya seusai sarapan. Tepat setelah piring terakhir bekas sarapan dicuci dan diletakkannya di rak dan mengeringkan kedua tangan dengan serbet, tepat saat dirinya berbalik hendak kembali mengelap meja makan—dua sosok pemuda itu berdiri seperti dinding tambahan yang merintangi lorong menuju ruang makan.
Rheas bisa saja—dan ingin—tidak peduli. Andai mereka berdua tidak benar-benar mengadang seperti dinding bertampang serius. Serius yang dimaksudkan adalah Arthkrai tidak berkaca-kaca air mata dan Riori tidak tersenyum sepenuh bulan sabit.
“Apa?” tanyanya datar, demi cepat mulai, cepat selesai.
“Itu—Rheas ... bisakah ikut aku ke halaman sekarang?”
Arthkrai menjawab dengan ganjil. Yah, pangeran itu memang aneh sedari awal, tetapi ini lain lagi. Perangainya seakan gelisah, sekaligus ada binar cerah di kerjap cepat matanya. Gelagatnya hati-hati, khas ketika pemuda itu meminta sesuatu dengan terlalu tak enak hati. Tak ada jejak air mata. Justru, bibirnya bergelombang seperti senyum diam-diam yang ditahan. Hah? Kenapa juga senyuman harus ditahan?
“Kenapa aku harus memajukan jadwal latihan sihirmu?” tanyanya lagi. Langsung menyambar satu-satunya kesimpulan—keluar ke halaman selalu sama dengan latihan sihir untuk si pangeran. Padahal, itu sebentar lagi, karena Rheas akan membersihkan dulu meja makan, membereskan dapur, lalu membuka semua jendela wastu, dan—
“Ah, bukan itu, Rheas... .”
Rheas mengerjap. Kenapa Riori ikut-ikutan? Kenapa juga dia terlihat sama ganjilnya dengan Arthkrai?
“Pokoknya, ayo ikut!”
“Sudah terlalu terlambat kalau kalian mau melihat matahari terbit, tahu.”
“Bukan itu!” seru Riori seolah frustrasi. “Kenapa kau keras kepala di saat-saat seperti ini, sih?”
Arthkrai menimpali, “Rheas, tolong ikutlah sekarang, ya? Aku bersungguh-sungguh ini penting. Ya?”
Andai dia Riori yang berkata bahwa dia sungguh-sungguh ini penting, Rheas akan mengerutkan kening. Sayang sekali, karena itu Arthkrai, Rheas tahu pangeran itu sungguh-sungguh bersungguh-sungguh.
Maka, sembari menepikan rasa heran dan penasaran yang bertumpukan di benak, Rheas mengikuti Arthkrai dan Riori keluar. Menginjak tanah berumput pendek halaman wastu yang disirami cahaya cerah mentari pagi. Ah. Ini cuaca yang bagus untuk menjemur seprai, selimut, dan bantal-bantal. Lalu, kelambu kamar Arthkrai juga, ya.
“Rheas,” panggil Riori sembari menjentikkan jari, juga terdengar memperingati agar dirinya fokus pada di sini dan saat ini.
Yah. Kalau ini sungguh-sungguh penting, Rheas memang sebaiknya menaruh atensi penuh.
Rheas membalas tatapan Riori, lalu mengerling kepada Arthkrai yang berdiri dua langkah di depan, menghadap lurus kepadanya. Seakan itu adalah aba-aba yang disepakati, Riori mundur menepi. Seperti mengawasi. Hm, tidakkah dia tampak sedikit pucat?
“Rheas,” Kali ini, ganti Arthkrai yang memanggilnya. “Aku mulai.”
Rheas mengangguk saja. Pun, dirinya benar-benar menaruh atensi. Menghargai. Cepat mulai, cepat selesai.
Ketika Rheas menyadari Arthkrai baru saja menarik napas untuk mengembuskannya menjadi senandung merdu, saat itulah dirinya menyadari betapa hari ini tidak akan menjadi sempurna seperti yang awalnya dia kira.
Berkas-berkas cahaya muncul mengepak di sekitar. Mekar dan terbang, bersinar sendiri lain dari terpaan cahaya mentari pagi. Bagai bohlam-bohlam bundar yang mungil dan bersayap tak kasat mata. Warnanya berpusar, sekilas emas, lalu biru kelabu—berakhir berpadu menjadi satu.
Rheas harus mengakui, dirinya terpukau.
Berapa lama permainan energi sihir itu berlalu? Rheas hanya tahu ketika menyadari mengapa sedari awal Arthkrai memosisikan kedua tangannya terbuka ke atas dengan berdekatan sejajar dada. Itu karena semua energi sihir yang beterbangan berkumpul menyusun diri di sana, dalam sekejap benderang mata mewujud menjadi sesuatu.
Sebuah buku. Terbuka dan tertampa tepat di atas kedua telapak tangan Arthkrai.
Dari keterpanaannya, Rheas pun tersadar. Kalau ini orang lain, dirinya akan tenggelam dalam ketidakpercayaan—tetapi, ini Arthkrai. Dirinya semata-mata ditenggelamkan keterkejutan yang disimpulkan dalam satu gumam, “Artefak sihir...?”
Kemudian, satu lagi kesimpulan menyambarnya.
“Milikmu, Arthkrai?!”
Artefak sihir. Itu adalah sebuah istilah yang segenap tafsirannya sudah dihafal Rheas di luar kepala. Di dunia ini, hanya segelintir manusia yang bisa mengendalikan sihir. Sihir milik seorang manusia telah mencapai titik terbaik ditandai dengan terpanggilnya sebuah wujud manifestasi, realisasi, sekaligus kristalisasi segala energi sihir yang telah dikenalikannya. Itulah yang dinamakan artefak sihir. Sampai sekarang, belum ada ketentuan pasti akan wujud arefak sihir—karena memang amat beragam. Bisa suatu perhiasan, binatang, senjata, dan lain-lain.
Sementara, di hadapannya kini adalah sebuah artefak sihir berwujud buku.
Senyum lebar serta rona cerah di wajah Arthkrai sudah menjawab keterkejutan Rheas bahkan sebelum pemuda itu mengangguk kuat dan buka suara. “Ya! Baru kemarin aku memanggilnya sekitar waktu senja. Rasanya tidak enak kalau aku mengganggumu malam-malam, jadi kuputuskan untuk memberitahumu pagi ini, Rheas! Bagaimana? Oh, kemarin aku menunjukkannya duluan pada Riori, untuk memastikan ini benar-benar artefak sihir.”
Rheas menoleh cepat pada Riori. “Kau sudah tahu dan tidak memberitahuku meski tahu ini urusan paling penting?”
Riori berdengap, pucat di wajahnya masih belum tampak beralasan. “Itu karena aku juga tidak mau mengganggumu, dan Arthkrai ingin memberitahumu sendiri...!”
Baiklah, Rheas tidak boleh salah fokus di sini. Riori bisa dimarahinya nanti gara-gara tidak menepati janji yang disepakati mengenai saling berbagi laporan dua arah akan Arthkrai. Saat ini, atensi satu-satunya haruslah pada Arthkrai yang sudah memanggil artefak sihir miliknya.
Benar—seperti pemastian dari Riori, buku itu adalah artefak sihir. Rheas mengamati wujudnya yang tampak antik dan magis. Lalu menemukan sebaris huruf yang terpatri rapi di sampul depannya. “Arkiv. Hm. Apa kau sudah menamainya, Arthkrai?”
Arthkrai mengerjap. “Eh, tidak, belum ... bukankah Arkiv itu judul asli dari sananya?”
Artefak sihir berwujud buku tidak terlalu langka. Rheas pernah menemuinya beberapa—tetapi, apakah ini pertama kalinya dia mendapati artefak sihir berwujud buku yang memiliki judul? Kalau ada faktor yang menjadi sebabnya, ini bisa menjadi penemuan baru. Sedari awal, eksistensi detail artefak sihir masih separuh misteri yang diperdebatkan. Yah, wajarlah. Ini adalah tingkat lanjut dari sihir yang dasarnya memang memusingkan.
“Kalau begitu, apa kau sudah tahu sihir macam apa yang bisa dilakukan artefak sihirmu?”
Artefak sihir adalah manifestasi dari energi sihir. Tergantung dengan berbagai macam elemen dari manusia pemanggilnya, ada kecenderungan pada masing-masing artefak sihir selain fungsi umumnya yang memudahkan pengendalian sihir bagi manusia pemanggilnya.
Kecenderungan sihir itu pun sangat beragam. Tepat sekali—segala sesuatu yang berkaitan dengan sihir memang memusingkan. Meski itulah tugas yang membuatnya bertahan hidup sampai kini.
“Em, sebenarnya, aku masih agak ragu, meski aku sudah berusaha mencari tahu semalaman—“
Oh, sekarang Rheas tahu kenapa di meja makan tadi Arthkrai hampir mencetak wajahnya sendiri ke piring sarapannya.
“—tetapi, satu-satunya kesimpulanku adalah, buku ini bisa menuliskan masa depan.”
Baik. Rheas tahu telinganya tidak salah mendengar, tetapi dia perlu mengejanya sendiri untuk memastikan sungguhan. “Masa depan...?”
Arthkrai mengangguk. Anehnya, di sudut mata, Rheas melihat Riori juga mengangguk samar.
“Tunggu, masa depan macam apa? Tidak, sebelumnya, dari mana kau bisa mendapatkan kesimpulan itu? Lalu, bagaimana tepatnya menuliskan yang kau maksud?”
“Uh, em, jadi ... sebenarnya aku juga bisa mendengar buku ini berbicara—“
“Hah?” Rheas ternganga. “Hei, yah, jangan bercanda. Mana mungkin buku bisa bicara?!”
“Rheas, pertama-tama tenang—“
“Apa kau bodoh, Riori? Mana bisa aku tenang?” seru Rheas membungkam kaku Riori.
Tentu saja, mana bisa dirinya tenang? Andai artefak sihir yang dipanggil Arthkrai adalah sesuatu yang lebih biasa, atau setidaknya tak jauh-jauh dari ekspetasi serta antisipasinya, Rheas tak akan sepanik ini. Dia merasa ada begitu banyak hal-hal yang berputar-putar memenuhi kepalanya, seribu satu urusan yang meminta diperhatikan dan didahulukan.
Bahkan, Rheas sampai tidak punya ruang untuk memikirkan perpisahannya dengan Arthkrai dan Riori tinggal berhitung mundur. Karena tugas sekaligus alasan satu-satunya berada di sini telah tuntas dengan terpanggilnya artefak sihir Arthkrai.
Rheas sibuk membenak. Artefak sihir yang bisa menuliskan masa depan, apa ini berkaitan dengan elemen waktu? Jangan-jangan juga ruang? Seberapa presisi masa depan itu, jangkauannya, rentang dan syaratnya? Semua itu harus segera kusimpulkan demi mengira masalah yang bisa pecah darinya dan cara mencegah masalah itu. Ahh, aku harus menyusunnya dengan hati-hati agar Arthkrai bisa mengikuti. Apa ini ancaman? Tunggu, bagaimana soal artefak sihir yang bisa bicara? Di dalam kepalanya? Sejenis telepati?
“Eh, Rheas...?”
“Rheas, halo-halo?”
Tiba-tiba, Rheas teringat satu hal lagi. Satu hal yang mungkin benar-benar gawat.
“... Riori, bisa tolong periksa meja kamarku?”
“Hmm?” sahut yang terpanggil dengan nada tanpa pemahaman.
“Meja. Di kamarku. Coba, apa ada sebuah surat yang segelnya sudah dilepas di sana? Kalau ada, bawakan. Sekarang juga. Tolong.”
“Baiklah... .” Riori menyanggupi meski tanda tanya jelas menggantung di benaknya. Pemuda itu menderap, mengambil ancang-ancang, lantas gesit memanjat dinding luar wastu dengan pijakan yang hanya bisa digapai olehnya, dan sampai di serambi lantai dua kamar Rheas seketika. Sosoknya menghilang saat membuka jendela, dinanti Rheas dan Arthkrai.
Tak lama, Riori pun kembali. Dengan sehelai surat bersegel terbuka di tangannya, serta ekspreksi yang menunjukkan bahwa dia juga sudah mengerti apa yang dimaksud Rheas. Begitupun Rheas yang tahu bahwa terbukti sudah hal gawat yang sia-sia diharapkannya untuk salah.
“Uh, sebenarnya ... ada apa?” sela Arthkrai was-was, karena terjebak dua hawa suram.
Rheas menerima kertas surat dari tangan Riori. Itulah saat hal gawat yang diingatnya sudah tak lagi sekadar mungkin.
Ini adalah satu hal yang benar-benar gawat.
Waktunya terlalu sempurna.
“Ini,” kata Rheas sembari menunjukkan simbol khusus yang terpatri di badan surat. “adalah surat undangan dari kerajaan. Besok malam, waktunya aku melaporkan perkembangan latihan sihir Arthkrai lagi.” []
KAMU SEDANG MEMBACA
QuietUs
FantasySatu kebangkitan sihir memanggil sebuah buku bernama Arkiv yang menuliskan rahasia masa depan, dan ada tiga yang harus menjaganya diam; Arthkrai, sang pangeran yang terlalu mudah mengurai air mata. Dia yang memanggil malapetaka itu, bisakah tegar hi...