|| Delapan []

22 5 18
                                    

Teruntuk, Arthkrai Furedeszil.

Halo, Arthkrai. Aku menanti kedatangan dirimu di ruanganku bersama Arkiv.

Bagaimanakah kabarmu? Cukuplah baik untuk memenuhi undangan kakakmu ini, bukan? Akhir-akhir ini kau semakin sibuk dan sibuk untuk pertunangan dengan Putri Axais, ya. Kupikir Ayahanda tampak amat bersemangat untuk itu, tidakkah begitu?

Benar juga. Bagaimanakah kabar kedua temanmu di sana? Apakah penasihatmu melakukan tugas-tugasnya dengan baik dalam membantumu? Apakah prajuritmu melakukan tugas-tugasnya dengan baik dalam melindungimu? Sudah lama tak kusapa mereka, padahal adikku sudah sangat dibantu, ya. Sampaikanlah salamku kepada kedua temanmu, ya.

Kurasa sekian sajalah suratku untukmu. Karena kita sama-sama kekurangan waktu. Semoga kau selalu sehat di sana, juga kedua temanmu. Aku berharap kau tidak akan lupa atau terlewat membaca apa yang kutuliskan pertama di surat ini.

Sampai bertemu di ruanganku, Arthkrai.

Tertanda, Huiricius Furedeszil.





***





"Pesannya benar-benar jelas," cetus Riori.

Rheas mengangguk, tanpa beranjak dari duduknya. "Riori. Jangan meremukkan suratnya. Kita masih harus menyampaikannya kepada Arthkrai."

"...Aku tahu."

Akhirnya, Rheas mendebas ketika Riori berhenti membuat lebih banyak jejak remas dari cengkraman jemarinya pada kertas surat itu. Meski ganti tangannya yang lain yang menjadi kepalan kaku sekeras batu, selama suratnya tidak semakin rusak, biar saja. Meski geram yang dingin meluap-luap darinya, prajurit bayangan itu tampaknya juga tahu bahwa mereka harus memberi tahu Arthkrai.

"Huiricius jelas sengaja menulis kalimat pertamanya segamblang itu untuk menjentikkan panik seketika pada Arthkrai," kata Riori sembari membuang surat di tangannya ke atas meja yang masih penuh oleh bahan-bahan riset Rheas, untuk mengetuk-ngetuk surat itu dengan jari telunjuknya seolah hendak memakunya ke meja kayu. Pemuda bermata merah itu terkekeh sinis. "Paragraf pertama bernada memaksa, maksudku, di dua pertanyaan pertamanya. Kemudian, dia tampak sepikiran denganmu, bahwa Ayahanda mereka amat bersemangat— untuk menendang keluar putra tak bergunanya."

Rheas mendengus.

"Paragraf ketiga. Kita disebut-sebut. Menjijikan. Jelas ancaman. Pertanyaan berutun macam apa ini? Di akhir, dia jelas sekali ingin kita berdua juga membaca surat ini."

Rheas bergumam mengiyakan.

"Paragraf terakhir. Ancaman, ancaman, dan ancaman. Tamat," tutup Riori dengan gurat-gurat geram yang semakin membara di wajahnya. Tersadar, dia menoleh. "Jadi, Rheas, bagaimana menurutmu?"

Akhirnya, Rheas mengangkat wajah dari posisi tengkuknya yang sedari tadi menunduk seperti samar-samar tertidur. "Hahh. Aku sudah tahu semua yang tadi kau katakan."

"Hei, kalau begitu kenapa kau mendengarkan?"

"Karena aku ingin kau yang menjelaskannya selagi aku memikirkan segalanya."

Riori mengerjap. "Segalanya ... itu, apa saja?"

Netra kelam Rheas bergulir kepada Riori di sudut mata. "Segala yang perlu kita lakukan untuk surat merepotkan ini. Seberapa besar kejujuran dan kebohongan yang akan kita berikan, siapa saja yang akan buka suara dari kita bertiga, hal-hal tidak berguna apa saja yang tidak boleh kita katakan, umpan dan pancingan apa saja yang bisa kita mainkan ... lalu—"

"Baiklah, aku mengerti! Kau bisa jelaskan itu panjang lebar ketika Arthkrai juga ikut!" potong Riori sembari mengangkat kedua tangan, membuat Rheas mengerjap heran kepadanya. "Astaga. Kepalamu benar-benar mengerikan. Seakan-akan kita tidak membutuhkan Arkiv, cukup kau saja bisa mengira-ngira masa depan—"

QuietUsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang