Benar saja, mimpi buruk tidak menghantui benak Rheas yang lelap tenggelam dalam lelah. Kalau disebut lelah karena kehabisan energi sihir, sebenarnya itu salah kaprah. Manusia tidak pernah bisa memiliki sendiri energi sihir, segelintir manusia hanya semata-mata bisa merasakan dan mengendalikannya dari alam—dan jika bahkan tidak memiliki sihir, bagaimana bisa dia kehabisan?
Jadi, entah istilah apa yang tepat, tetapi secara konsep, Rheas tumbang karena dirinya terlalu lama dan dalam merasuki sihir milik alam. Ketika seorang manusia mulai melakukan—alias mengendalikan—sihir, diri manusia itu sudah bukan miliknya lagi. Dia berpadu dengan seisi alam semesta. Alam mengalir di dalam dirinya, dirinya mengalir kepada alam. Mempertahankan fokus di tengah segala arus sihir agar tidak balik dirasuki, selagi menjadi yang memegang kendali agar apa yang ingin dilakukannya dengan sihir dituruti ... bagaimana bisa itu tidak menguras tenaga luar-dalam?
Yah. Sihir memang merepotkan—di balik sisi ajaibnya—terutama ketika menjelaskannya.
Bukan mimpi buruk yang mengunjungi Rheas dalam tenggelamnya di kelelahan merepotkan ini, tetapi sesuatu yang lain. Samar-samar, ketidaksadarannya goyah. Dari situ saja, Rheas sudah sadar bahwa dirinya berada dalam mimpi. Menoleh—atau setidaknya dirinya berusaha memutar sendi lehernya—ke sekitar, tiada apa-apa.
Alam mimpinya seolah bingung, apa sebaiknya dia mengeluarkan Rheas seketika untuk terbangun, atau menyibak hampa dari Rheas agar bisa bermimpi bebas selagi dirinya sadar?
Yah. Rheas juga tidak tahu apa yang dirinya ocehkan tentang kepala mimpinya sendiri. Tetapi, sebelum ocehannya itu mungkin benar-benar terjadi, mendadak telinganya mendengar suara kepak.
Sayap burung? Tidak, terlalu halus. Suara kepak itu sekali lagi muncul, Rheas seketika menebaknya persis suara kain halus yang disentak. Seakan membenarkan, jari-jemarinya tiba-tiba disambut tekstur nan halus persis seperti yang dibayangkannya. Tekstur halus itu ditelusuri kesepuluh jarinya seakan tak terbatas, hingga menyelip sendiri ke dalam genggaman tangannya.
Ah.
Selembar selendang.
Tanpa aba-aba, alam mimpinya terbuka, tak lagi hampa. Segalanya tampak seputih salju tak terbatas di depan mata.
Seketika, Rheas mengetahuinya. Alih-alih mimpi apa pun, alam bawah sadarnya yang tenggelam justru sampai pada seberkas sihir dari ibundanya—yang diberikan, dibagikan, atau apalah itu ke kepala Rheas saat mengunjungi pengasingan demi menanyakan tentang Arkiv. Sihir yang mengandung sekeping ingatan untuk jawaban pertanyaannya.
"Rheas, kau tidak punya banyak waktu, bukan? Jawabanku akan kutaruh ke dalam kepalamu, ya."
Maka, Rheas mengeratkan genggaman tangan pada selendang yang tergeletak di tangannya. Memejamkan mata, dan dirinya pun tercebur ke dalam kepingan sihir itu sepenuhnya. Segalanya dimulai.
Rheas mengingat banyak hal yang seakan-akan memang ingatannya sendiri dan sempat terlupa.
Artefak sihir bisa dilenyapkan. Mudahnya, selama ada energi sihir yang lebih kuat yang menekan energi sihir yang dimiliki artefak sihir itu.
Tentu, itulah hal yang pertama kali dicoba saat keputusan melenyapkan Arkiv sudah mutlak. Rheas lega karena setidaknya kedua temannya sama pahamnya bahwa sebuah buku yang bisa menuliskan masa depan itu terlalu merepotkan dijaga bertiga saja demi tidak memantik konflik. Rheas memadukan energi sihir bersama Arthkrai dan Riori—seperti, bertiga kompak mengendalikan energi sihir serta mengarahkannya untuk satu tujuan yang sama. Kepada Arkiv. Untuk melenyapkan Arkiv. Itu gagal, bahkan setelah berbagai celah seperti mencobanya tanpa Riori yang barangkali sihir hitamnya tak seirama, melakukannya di hutan terdalam atau puncak bukit yang kental akan sihir alam tanpa jajah manusia, dan lain-lain yang merepotkan agar mereka menerima bahwa cara termudah itu gagal.
KAMU SEDANG MEMBACA
QuietUs
FantasySatu kebangkitan sihir memanggil sebuah buku bernama Arkiv yang menuliskan rahasia masa depan, dan ada tiga yang harus menjaganya diam; Arthkrai, sang pangeran yang terlalu mudah mengurai air mata. Dia yang memanggil malapetaka itu, bisakah tegar hi...