"Berapa kali pun aku ingin melepaskan tali sihir itu, sedari awal aku tidak bisa."
Riori menghela napas. Ternyata, setelah sempat terlupakan, sepenggal kalimat dari sang Kapten itu kembali ke benaknya. Kerikil kecil terjentik dari jemarinya, menuju api unggun dan menjadi samar suara gemeretak yang tertolak untuk ikut dilahap lidah-lidah api.
"Tapi, aku bisa."
Lantas, mau tak mau, Riori mendenguskan tawa dari senyum miringnya yang tersulam untuk ingatan akan sahutan Rheas setelah kalimat sang Kapten. Mengubah suasana suram nan kelam yang hampir menelannya tenggelam, dengan sekadar kata-kata datar itu, menjadi momen di mana roda-roda pikiran semua orang terhenti sejenak.
Bahkan, ya, termasuk Riori. Ketika dirinya bertanya menyela jeda janggal saat itu, tatapan datar Rheas masih diingatnya menusuk dengan cara yang tak pernah dilakukannya selama ini.
"Apa kau pikir aku tidak pernah berkembang mengenali sihirku sendiri?"
Oh, ya. Kemudian Rheas beralih pada sang Kapten yang masih mematung dan keempat prajurit bayangannya.
"Aku hanya butuh masing-masing subjek perjanjian yang bersangkutan untuk melepasnya, di sini, berarti Riori dan kau, Kapten. Hanya saja, prosesnya akan lebih mudah kalau masing-masing subjek setuju dari lubuk hati untuk melepaskan tali sihirnya. Tanpa persetujuan, aku tetap bisa melakukannya, tetapi silakan pilih, mau yang susah atau mudah?"
Pada akhirnya, sang Kapten menyatakan persetujuannya—dengan suara bernada ketidakpercayaan nan gamang yang masih bisa diingat Riori.
Kini, disaksikan api unggun, Riori mengangkat tangan kiri, meraba lehernya sendiri, dan kali ini tidak merasakan tekstur sihir yang dulu begitu mengganggu terpatri di sana seperti rajah murahan sungguhan yang gatal.
Rheas sudah melepaskannya dari perjanjian prajurit bayangan, tanpa satu pun nyawa yang harus menjadi bayaran.
"Hei. Kalian berempat, cepat mendekat. Ya, kalian, wahai prajurit bayangan. Atau kalian tidak mau kulepaskan perjanjiannya juga?"
Bahkan, Rheas juga melakukannya untuk keempat prajurit bayangan yang sedari awal jelas semata-mata hanya dibawa demi mengawal sang Kapten.
Kemudian, ketika bayangan hitam yang melapisi wajah mereka lenyap seperti tinta yang meluntur menjadi serpihan abu, Riori tak menyangka bahwa keempat prajurit bayangan itu adalah teman-teman satu kubunya dulu. Sebelum dirinya dilabeli gila, sebelum hal itu terjadi.
Nain. Clad. Harren. Etasoka.
Andai Riori tidak dialihkan menjadi pengawal Arthkrai, mungkin, dirinya akan berakhir seperti mereka. Semakin tertelan oleh sihir hitam dari perjanjian. Semakin tenggelam dalam bayangan. Mata-mata mereka bahkan masih kosong seakan tanpa jiwa ketika wajah mereka telah terbebas dari bayangan.
"Pemulihannya agak jangka panjang. Supaya tubuh prajurit bayangan kalian yang selama ini bertahan dicampur sihir hitam, tidak tumbang tiba-tiba kehilangan penopangnya. Jadi, selama beberapa saat, kurasa, kalian masih akan bisa menggunakan sihir hitam. Yah. Ini salah satu risiko ikut campur perjanjian dari luar."
Setidaknya, Riori lega ketika Rheas mengatakan bahwa kesadaran mereka masih utuh. Hanya sedikit keterlambatan perjalanan respon yang diberikan mereka dari dalam ketika menyadari sesuatu ke luar. Lalu ... itulah kali pertama Riori melihat wajah asli sang Kapten.
"Riori. Kurasa wajah Kapten tidak cocok dipanggil pria tua, kau tahu."
"Walau aku tidak pernah melihat wajah asli Kapten, jangan tertipu. Kapten prajurit bayangan selalu menyimpan usia yang lebih lama dari penampilannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
QuietUs
FantasySatu kebangkitan sihir memanggil sebuah buku bernama Arkiv yang menuliskan rahasia masa depan, dan ada tiga yang harus menjaganya diam; Arthkrai, sang pangeran yang terlalu mudah mengurai air mata. Dia yang memanggil malapetaka itu, bisakah tegar hi...