Huiricius hendak mengayunkan pedangnya secepat kilat ketika sihir Rheas sudah meledak dalam sekejap mata.
Rheas mengira dirinya sudah memikirkan segalanya, tetapi—
"Mungkin seharusnya aku mendengarkanmu, Riori," kata Rheas. "Huiricius benar-benar membawa pedang."
Dirinya tidak mengira pangeran yang selalu membanggakan dan dibanggakan kemampuan pengendalian sihirnya itu, akan melewatkan kesempatan untuk memamerkan sihirnya sekaligus menghadiahkan penghinaan untuk kematian seorang penyihir.
Sementara, dari sihir Rheas yang meledak tadi, Huiricius tersentak seraya menebaskan pedangnya untuk menepis sihir darinya yang mengejar dengan percikan tajam.
Namun, waktu yang diulur oleh pengalihan perhatian itu sudah cukup.
Rheas sudah tegak berdiri kembali—dengan senang hati, kali ini dirinya menjentikkan jari. Menggemakan aba-aba yang tak akan sempat dihentikan Huiricius, bahkan tanpa diketahui oleh si pangeran kedua untuk apa dia berusaha mencegahnya.
Yah. Biarkan Rheas memuji insting tajam Huiricius yang tahu mana yang berbahaya.
Seketika, dunia pecah berkeping-keping dengan suara nyaring.
Menjadi serpihan-serpihan sihir serupa kaca tanpa warna yang hancur dari retakannya, berjatuhan bagai hujan. Selaput ilusi yang sedari tadi meliputi telah diurainya mati, ilusi yang sedari tadi—diharapkan—tidak disadari dirinya. Mengelupas selubung untuk memperlihatkan Arthkrai serta Riori yang sama tegaknya berdiri di kedua sisi Rheas. Tak lupa, memperlihatkan juga sosok sang Raja yang tadi tak tampak olehnya berkat sekat sihir ilusi tadi.
Oh. Pria tua itu menunjukkan wajah yang bagus untuk disebar ke sepenjuru kerajaan menjadi bahan tertawaan. Bayangkanlah sendiri.
"Nah, sudah kubilang. Bahkan Arthkrai saja setuju denganku kalau bangsawan memang suka cara mengeksekusi yang klise dengan penggal kepala pakai pedang. Dasar keras kepala!"
"... Aku tidak keras kepala. Aku hanya malas mendengarkanmu."
"Uh, kalian sudah selesai berakting dengan dialog itu, bukan?"
Dari pada menanggapi Riori yang menimpali dengan puas hati di telinganya, Rheas lebih memilih menikmati ekspresi sang Raja dan pangeran kedua di hadapannya yang bahkan tak bisa berkata-kata—karena terkejut, dan tidak percaya ... ah, juga sama sekali tidak menyangka. Sebaris pasukan berseragam logam yang tadi juga tersembunyi di balik ilusi yang mengawal di belakang Huiricius pun membatu, kombinasi sama-sama terkejut dan tak tahu harus apa karena masih belum diberi komando. Rheas menggulirkan tatapan tajamnya, tetapi sosok penyihir dalang ilusi merepotkan tadi tidak juga tampak. Ah. Paling-paling sudah lari atau bersembunyi lebih jauh dari sini.
"Apa-apaan—"
"Kau! Bagaimana bisa?!"
Oh. Ternyata mereka sudah bisa berkata-kata. Rheas akui dirinya terkejut karena Huiricius berseru menyela sang Raja yang lebih dulu hendak menyumpah.
"Kalian mengharapkanku mati menjadi monster di sana, bukan, Pangeran Huiricius?" sahut Riori lantang dengan seringai terpampang mengedik ke belakang. "Kalian juga mengharapkan Rheas mati di sini, si pengganggu, agar terpenggal oleh pedangmu. Terutama, kalian mengharapkan Arthkrai berhasil dirantai bersama artefak sihirnya yang berharga."
Oh. Riori akan mengatakannya di depan Arthkrai, ya.
"Tetapi, kau mengharapkan Arthkrai untuk mati terpenggal pedangmu juga, bukan, Pangeran Huiricius?"
Riori sudah mengatakannya, dan seringai di wajahnya lenyap. Meski tidak serta-merta mengganti ekspresinya menjadi mengecam kejam. "Benar, Pangeran. Juga, Yang Mulia Raja yang ingin berperang dengan Gwanlian dengan mengkhianati perjanjian damai lebih dulu. Kami mengetahui segalanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
QuietUs
FantasySatu kebangkitan sihir memanggil sebuah buku bernama Arkiv yang menuliskan rahasia masa depan, dan ada tiga yang harus menjaganya diam; Arthkrai, sang pangeran yang terlalu mudah mengurai air mata. Dia yang memanggil malapetaka itu, bisakah tegar hi...