"Mengapa dirimu harus menjadi yang memutuskan?"
Rheas berteriak seketika.
"Aku tidak tahu!"
Kabut putih di sekitarnya bergejolak. Dimensi yang menelannya ini seakan berombak. Menerjang dirinya sebagai karang, yang tidak punya pijakan bahkan untuk menjaga kewarasan. Segalanya bercampur-aduk ke dalam diri Rheas, yang bahkan tidak diketahuinya apa ini masih dirinya sendiri atau bukan.
Di sini, Rheas adalah bayangan yang diterpa pantulan-pantulan cahaya berbeda warna.
Banyak pantulan cahaya yang berebutan memaksakan warna mereka mengisi dirinya.
Suaranya terkikis perih melirih.
"Tetapi setelah semua ini ... mana bisa aku berkata begitu, bukan?"
Kesepuluh jemarinya menyelip di antara helai-helai rambut, mencengkram kepala dari kedua sisi, demi menutup telinganya tuli. Setidaknya, Rheas berusaha—tetapi sebagaimana air matanya yang tak juga sudi berhenti, serta sensasi robek di punggungnya yang berat oleh beban bayangan, gema suara Arkiv tetap merasuki tengkoraknya.
"Masih ada yang harus kau tahu."
Tidak! Tidak ada, tidak lagi—
Tetapi Rheas tidak berhak berteriak tak sudi, membentak apa semua yang tadi belum cukup lagi. Setelah semua ini, Rheas tak terpikir apa-apa, selain bahwa inilah takdir bagaimana dirinya yang senantiasa tidak peduli akan mati dalam karma.
Suara di kepalanya berganti dengan rasa. Pantulan rasa yang bukan miliknya.
Mengenai suara yang selalu ada di dalam kepala, berkata dan bertanya begitu banyak di antara langkah-langkahnya. Suara yang juga bisa balik mendengar dirinya memikirkan kata-kata. Suara yang bergema misterius sekaligus familier, mengaku tersembunyi dan harus disembunyikan bahwa selalu ada meski lembar-lembar halamannya tidak terbuka lebar.
Arthkrai. Apa yang selanjutnya akan kau lakukan setelah keluar dari negerimu sendiri?
"Aku—kami tidak akan berubah tujuan, ini baru awal. Tetapi ... apa kau benar-benar tidak apa dilenyapkan, Arkiv?"
Tidak apa, Arthkrai. Kau melakukan hal yang benar. Aku ada untuk dilenyapkan. Pun, jangan cemas, kau bisa memanggil artefak sihir lain setelah aku lenyap.
"Eh? Aku belum berpikir soal itu ... sungguh?"
Tentu. Hari ini kusudahi dulu. Aku tidak bisa terlalu menguras tenagamu. Beristirahatlah.
"Oh, baiklah. Selamat istirahat juga, Arkiv. Terima kasih."
Tunggu, ini—
Arthkrai. Ini bukan salahmu.
"Tetap saja ... seharusnya ada cara yang lebih baik daripada mengorbankan salah satu dari kami. Bagaimana caraku menjadi kuat, Arkiv?"
Pantulan rasa terus menerpa. Sudut pandang seseorang yang tak lagi ditanya Rheas siapa. Semua ini ... selama ini—
Arthkrai. Tetap jangan lengah.
"Ya, Arkiv. Terima kasih sudah mengingatkan."
Tidak ada yang mati, hanya untuk saat ini.
"Kau benar, tetapi ini tetaplah saat ini, Arkiv. Aku tidak mau menyia-nyiakannya."
Rheas mengepalkan tangan, merangkum gemetar dari gentar dan geram yang sejajar, mengetahui setiap kukunya telah melesak dalam di kulit telapak. Merasakan satu hal yang seharusnya dirinya tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
QuietUs
FantasySatu kebangkitan sihir memanggil sebuah buku bernama Arkiv yang menuliskan rahasia masa depan, dan ada tiga yang harus menjaganya diam; Arthkrai, sang pangeran yang terlalu mudah mengurai air mata. Dia yang memanggil malapetaka itu, bisakah tegar hi...